Film Bullet Train menjadi salah satu pertunjukan menarik yang bisa disaksikan bila kamu bosan bertemu dengan ibu atau takut melihatnya dua kali. Aksi di dalam kereta cepat dengan bumbu humor ini layak untuk dipertimbangkan. Walau dari beberapa aspek memang terasa kurang. Namun, secara keseluruhan film yang dibintangi oleh Brad Pitt ini tetap memberikan sajian hiburan berkelas. Apalagi, premis sederhana yang dikembangkan menjadi satu kisah menarik untuk diikuti sejak awal.
Pertunjukan ini sendiri diambil dari novel Jepang berjudul Maria Beetle tetapi, pada tahun 2010 diubah menjadi Bullet Train yang ditulis oleh Kotaro Isaka. Dengan Sutradara David Leitch yang dulunya adalah seorang stuntman.
Film Bullet Train mengadopsi banyak gaya
Kelemahan yang paling terlihat dari pertunjukan ini adalah rasa tidak percaya diri David Leitch dalam menuangkan ide dari tulisan menjadi gambar visual. Hal itu sangat terasa disepanjang durasi. Di mana beberapa adegannya meniru gaya berbagai sutradara, sehingga ciri khas yang seharusnya bisa ditampilkan tidak ada sama sekali. Harus diakui cerita satu tempat dan waktu seperti ini memang susah untuk dieksekusi.
Kamu sebagai sutradara harus punya ide menarik agar penonton tidak bosan atau justru tertidur di dalam gedung bioskop. Hal inilah yang mendasarinya untuk mengambil inspirasi sayangnya, kurang tepat. Perlu diketahui pula, dalam syuting film ini mereka tidak benar-benar berada di kereta cepat sehingga rasa yang dihadirkan tidak berjalan natural. Tetapi, di sebuah studio dengan pemandangan sebuah miniatur dan CGI berteknologi tinggi.
Sebuah kualitas yang sebenarnya bagus andai saja teknik itu dapat berjalan sempurna. Sayangnya film Bullet Train ini terkesan membosankan. Kalau dibilang bagus, maka jawabannya adalah benar, hanya saja tidak ada kesan yang dapat dibicarakan setelah melihatnya.
Penggemar film barat pasti paham sekali dengan tekinik penyutradaraannya. Maka, beberapa mengaku bosan, tetapi kalau penonton awam merasa menyenangkan dan sedikit menegangkan walau tidak klimaks.
Selera humor yang pas
Film Bullet Train mempunyai sisi terbaiknya dimana komedi yang diberikan terasa pas. Tidak melebihkan atau mengurangi, apalagi gaya bertutur dari Brad Pit, Bryan Tree Henry, dan Aaroon Taylor Johnson sangat padu.
Mereka memberikan sentuhan berbeda sehingga, apa yang dilihat penonton terasa segar. Kebosanan selama durasi sedikit terbuang dengan aksi kocak tersebut. Walau begitu, usaha yang dilakukan tersebut masih sulit membantu film untuk berkembang menjadi sesuatu hal menyenangkan. Sepanjang durasi, kisah aksinya memang sedikit karena, mayoritas disuguhkan dengan dialog bercanda. Tidak heran di salah satu adegan terlihat pembunuhan terjadi secara tidak disengaja.
Dalam film ini Brad Pitt cukup lihai dan pandai dalam memerankan tokohnya sebagai Ladybug. Sepertinya pengalaman bermain di The Lost City memberikan suntikan motivasi dan inspirasi bagaimana dia memerankan tokoh tersebut.
Adaptasi novel yang diubah
Sony sepertinya belajar banyak dari partnernya bersama Marvel di genre superhero. Cerita yang disuguhkan ini sebenarnya bukanlah asli melainkan pengembangan dan sedikit mengubah originnya.
Saat kamu membaca novelnya, terlihat hampir semua orang adalah Jepang. Tetapi, saat masuk ke universe Sony, ternyata mereka berasal dari beberapa negara. Sebuah keputusan yang menarik dan tepat.
Hanya saja pertunjukan ini sedikit kurang bertenaga. Ruh dalam kereta cepat dan pengembangan premis yang seharusnya menjadi satu momen paling mewah di sepanjang cerita, jadi rusak karena penggunaan studio yang menyita emosi pemain untuk tampil lepas.
Bagi yang bingung mau kemana di akhir pekan ini, menyaksikan aksi Brad Pitt di atas kereta cepat dengan laga penuh aksi memang sangat menarik walau ada beberapa yang memang kurang. Tetapi, masih bisa menghibur, tidak heran bila film Bullet Train ini mendapatkan skor 65.