Hari raya Idul Fitri di Indonesia memang berbeda dengan negara lain. Suasananya sangat hangat karena, hampir seluruh keluarga berkumpul bersama. Bukan hanya itu saja, di Jawa momen ini hadir dengan tradisi kupatan, apakah itu?
Menurut catatan sejarahnya, budaya ini sudah ada sejak zaman dulu. Bahkan sejak kerajaan Hindu dan Budha, hanya saja kedatangan Wali Songo sedikit mengubah cerita tersebut karena, dijadikan sebagai salah satu sarana berdakwah.
Sejak saat itu, membuat kupat menjadi kebudayaan masyarakat islam khususnya pulau jawa. Biasanya diadakan 7 hari setelah lebaran. Lalu, bagaimana awal mula cerita hadirnya tradisi kupatan ini?
Sejarah panjang tradisi kupatan
Menurut hasil penelitian dari Clifford Geertz, acara ini merupakan ritual keagamaan yang berisi dengan berbagai macam doa. Dalam versi yang lebih lama, perayaan tersebut sebenarnya pemujaan tradisi terhadap Dewi Sri.
Kondisi itu berubah ketika Wali Songo datang dan mengajarkan agama islam. Pertama kali yang menyiarkan adalah Sunan Kalijaga, dimana beliau sendiri mulai merayakannya setelah satu pekan atau hari ke enam bulan Syawal, mengubah adat dan tata cara agar sesuai dengan syariat Islam.
Menurut pendapat lain dari sejarawan Belanda tradisi kupatan ini sendiri adalah simbol perayaan dari agama Islam pada masa kerajaan Demak. Kala itu, masih dipimpin oleh Raden Fatah terlihat pembuatan kupat menggunakan janur.
Beberapa sejarawan lain juga mencatat bahwa kebudayaan ini memiliki kepanjangan yang berasal dari bahasa Jawa yaitu ngaku lepat. Artinya, mengakui segala kesalahan kepada semua orang tidak heran saat momen ini seluruh masyarakat Indonesia selalu meminta maaf.
Lambang ketupat
Ketupat sendiri berbahan dasar dari beras, kemudian dibungkus menggunakan selongsong berasal dari daun kelapa. Selanjutnya, direbus beberapa jam sampai matang. Dalam penyajiannya menggunakan sayur lengkap seperti opor ayam, lodeh nangka, hingga srondeng bumbu kelapa.
Perlu diketahui bahwa, masyarakat jawa sendiri membuat sesuatu pasti mempunyai filosofinya sendiri. Begitu pula dengan tradisi ketupat ini, mereka membuatnya penuh dengan makna dimulai dari bentuknya.
Masyarakat Jawa melambangkannya sebagai nafsu dunia kemudian dibungkus dengan hati nurani. Hal ini menjadi salah satu pengingat terbaik bahwa setiap umat manusia tidak akan pernah lepas dari rasa salah. Ketupat sendiri memiliki dua bentuk yaitu segi empat, mencerminkan bagaimana prinsip kiblat papat lima pancer. Artinya ke mana saja manusia pergi nantinya mereka tetap akan kembali kepada Allah.
Baca juga: Desa Wisata Tipang Pesonanya Membuat Semua Orang Malas Pulang
Kiblat papat sendiri bisa juga diartikan sebagai hawa nafsu manusia yaitu amarah, lapar, memiliki sesuatu yang lebih indah, hingga memaksakan diri sendiri. Semua itu dapat ditahan hanya dengan berpuasa.
Sementara itu, untuk bentuk lainnya yaitu segi lima. Mempunyai arti barang limo rak keno ucul, artinya adalah ada lima hal yang tidak boleh lepas dari diri manusia, apa saja itu? Sholat lima waktu mulai dari Subuh sampai Isya.
Untuk melengkapi hidangan ini biasanya hadir kerupuk artinya adalah ketumpuk-tumpuk. Hal ini mengingatkan bagaimana kesalahan manusia yang selalu bertumpuk. Oleh karena itu, setiap orang harus bisa saling memaafkan.
Tradisi ketupat zaman sekarang
Walau sudah lama, tradisi ini masih terus dikembangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan mereka masih membuatnya sampai detik ini. Walaupun sudah terjadi perbedaan, karena ritualnya mulai dihapus namun menu tersebut masih merekatkan semua keluarga.
Skalanya sekarang lebih luas, menu ketupat sayur juga digunakan untuk kegiatan halal bi halal baik itu antar teman sekolah sampai lingkungan kerja. Harus diakui dari segi perayaannya jauh lebih meriah dan menyeluruh ke berbagai kalangan.
Tradisi kupatan memang sudah seharusnya dilestarikan. Di dalamnya memberikan berbagai macam makna yang membuat manusia merasa sadar bahwa, dalam menjalani hidup pasti punya salah, maka wajib meminta maaf dan saling memaafkan.