Tekanan darah tinggi atau hipertensi telah menjadi epidemi, memengaruhi kurang lebih 34,1% orang dewasa di Indonesia saja (Riskesdas 2018). Hipertensi kerap dijuluki pembunuh senyap karena sering datang tanpa keluhan dan para penderita baru menemukan penyakitnya setelah terjadi komplikasi. Angka kematian akibat hipertensi mencapai 427.218 jiwa.
The American Heart Association menjelaskan bahwa detak jantung menciptakan tekanan yang memompa darah melalui pembuluh darah. Tekanan darah kita diukur dengan memeriksa tekanan sistolik, yang terjadi saat jantung memompa darah keluar, dan tekanan diastolik, yang tercipta di antara detak jantung.
Saat kita mengalami tekanan darah tinggi, jantung dan pembuluh darah bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh kita. Akhirnya, dampak yang disebabkan oleh peningkatan tekanan ini merusak jaringan dinding arteri, memungkinkan plak menumpuk di dalamnya. Orang dengan tekanan darah tinggi berada pada peningkatan risiko kondisi seperti aritmia, serangan jantung, dan stroke. Dan menurut sebuah studi baru, tekanan darah tinggi juga meningkatkan risiko penyakit mental.
Baca juga: Cek Tekanan Darah Secara Teratur dan Kendalikan Hipertensi
Studi tersebut, yang baru-baru ini diterbitkan di General Psychiatry, menemukan hubungan antara tekanan darah diastolik dan neurotisme, ciri kepribadian yang ditandai dengan kecenderungan untuk merasa lebih terancam dan tertekan (per Britannica). Orang dengan kepribadian neurotik lebih rentan terhadap emosi negatif seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kesadaran diri, dan lekas marah.
Meneliti hubungan antara hipertensi dan neurotisme
Untuk studi khusus ini, para peneliti memeriksa tekanan darah sistolik dan diastolik, tekanan nadi, dan hipertensi, serta hubungannya dengan kecemasan, depresi, neurotisme, dan kesejahteraan subjektif. Meskipun sebagian besar faktor yang diamati tidak menunjukkan hubungan yang signifikan, peneliti menemukan bahwa tekanan darah diastolik tampaknya memiliki “efek kausal genetik pada neurotisisme”.
Menurut British Medical Journal, para peneliti mengakui bahwa ada keterbatasan dalam penelitian ini. Mereka tidak dapat mengesampingkan kemungkinan satu gen mempengaruhi beberapa sifat atau memastikan apakah temuan ini meluas ke orang-orang di luar keturunan Eropa. Mereka juga tidak dapat menentukan apakah karakteristik psikologis menjadi penyebab tekanan darah tinggi.
Dengan demikian, temuan menunjukkan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan hubungan antara kesehatan mental dan hipertensi karena hal itu dapat memengaruhi lebih dari sekadar kesehatan fisik kita.
Sumber: healthdigest.com