Salah satu alasan mengapa Yogyakarta disukai oleh banyak pelajar adalah menu makanannya murah. Ibarat kata, Rp10 ribu saja kamu sudah kenyang dan bisa menikmati berbagai menu. Salah satu pelopornya adalah tempat makan angkringan.
Kota Yogya sendiri merupakan rumahnya, hampir sebagian besar kawasan tersebut selalu dipenuhi tenda mini dengan gerobak di dalamnya. Bahkan, ada satu kawasan bernama Kedaulatan Rakyat atau KR, di mana sepanjang jalan isinya angkringan semua.
Mungkin, ada yang bertanya dari mana sebenarnya sejarah dan asal-usul dari angkringan tersebut. Tidak lupa, dengan nasi kucing sebagai menu andalan yang dari dulu sampai saat ini masih tetap dipertahankan.
Asal-usul nasi kucing di tempat makan angkringan
Menurut cerita rakyatnya, awal mula lahirnya berasal dari Eyang Karso Dikromo yang merupakan orang Klaten. Pada tahun 1930 saat usianya 15 tahun, beliau sudah merantau ke Solo. Disana, beliau bertemu dengan Mbah Wono, di sinilah awal mula angkringan tersebut berdiri.
Awalnya, Mbah karso bekerja dengan Mbah Wono, sebagai penggembala kerbau untuk membajak di sawah. Tidak hanya itu saja, beliau juga bekerja sebagai pedagang makanan terikan (daging atau tahu yang dimasak sayur terik sejenis kuah santan kental).
Pada tahun 1943, beliau mempunyai ide untuk menambah minuman, sehingga pendapatannya bisa lebih banyak. Apalagi, tempatnya itu sering banyak orang olahraga, jadi kesempatan barang dagangannya laris dibeli oleh orang sangat tinggi.
Saat itu, Mbah karso masih berjualan menggunakan pikulan. Jadi, bagian depan depan untuk makanan serta belakangnya dimanfaatkan untuk minumannya. Peminatnya semakin banyak, menunya akhirnya ditambah, ada jadah, singkong, dan pisang goreng. Hingga akhirnya ditambahkan nasi kucing. Ternyata semenjak ada makanan tersebut, pamor dari terikan sendiri semakin tergeser. Inilah alasannya mengapa di setiap angkringan selalu ada nasi kucing.
Tempat makan angkringan asalnya dari Hik
Seiring perkembangan zaman, pikulan tersebut diganti menjadi gerobak dorong, tetapi saat ini jualannya menetap di satu kawasan saja. Jika di Jogja dikenal angkringan maka, ketika pergi ke Solo namanya adalah Hik. Inilah cikal bakal dari berkembanganya angkringan di kawasan Yogyakarta.
Nama Hik ini sendiri mempunyai berbagai macam versi, mulai dari penjual selalu mengatakan hik, hingga ada yang pernah mengatakan karena bersendawa. Bahkan, ada lagi versi jika, Mbah Karso sudah menamainya sebagai Hik, tanpa arti dan makna.
Tahun 1970, Kota Yogyakarta menjadi kawasan pertama, orang perantauan dari Solo penjual pikulan seperti ini. Waktu itu, Solo sudah penuh, sehingga kesempatan mendapatkan keuntungan besar menjadi sulit. Perubahan menjadi gerobak didasari sebuah kejadian, ada satu atau dua pelanggan tanpa sengaja terkena air panas, saat penjual sedang mengambil nasi. Hingga akhirnya mereka mengubahnya menjadi gerobak.
Baca juga: Makin Mblusuk Makin Diburu, Ini Tempat Makan Tersembunyi di Yogya
Peralihan menjadi angkringan
Menggunakan gerobak membuat penjual harus menyediakan kursi tambahan. Di mana pembeli merasa senang karena, bisa duduk dan santai mengobrol dengan teman. Peralihan dari Hik berasal dari sini. Banyak orang bila ditanya pasti menjawab, “mau nangkring,” atau dalam bahasa Indonesia adalah nongkrong. Keseringan menyebutkan istilah itu membuat namanya berubah dengan sendirinya menjadi tempat makan angkringan.
Saat ini, menu makannya sudah berkembang pesat, bahkan cemilannya juga mengikuti perkembangan zaman. Bukan hanya tempe mendoan saja, melainkan ada sosis, tempura, cakar, sampai kepala.
Perkembangan lainnya dari segi tempat. Bila biasanya hanya di dalam tenda dan maksimal bisa untuk 3 sampai 5 orang. Saat ini mereka menggunakan tambahan lahan, jadi pengunjung dapat lesehan santai di bawah.
Kondisi tersebut membuat mereka semakin nyaman, apalagi kalau kamu datang bersama dengan teman, pasti betah berlama-lama. Bukan hanya dari menu saja, ada beberapa yang mengembangkan dari fasilitas dengan kehadiran wifi.
Harus diakui tempat makan angkringan ini tidak akan hilang oleh waktu. Selain harganya murah bisa makan dan minum hanya dengan Rp10 ribu saja, perkembangannya semakin menjanjikan. Kalau kamu, pernah mengunjungi angkringan di Jogja yang mana?