Derealization disorder atau gangguan derealisasi seringkali disamakan dengan gangguan depersonalisasi. Hal ini karena keduanya sekilas tampak mirip. Namun, bila kamu ada kecurigaan dirimu atau orang yang terdekatmu sedang berjuang dengan derealisasi, penting untuk mengetahui perbedaan utamanya. Dari sini, kamu bisa menemukan metode perawatan yang tepat untuk mengatasinya.
Nah, pertama-tama mari kita ketahui dulu, apa sih derealisasi itu? Menurut Psikiater dan Direktur Medis Regional dari Community Psychiatry dan MindPath Care Centers, Leela Magavi, derealisasi mengacu pada perasaan yang terlepas dari lingkungan seseorang. “Seseorang mungkin menganggap dunia mereka sebagai hal yang tidak nyata, yang dapat menyebabkan kecemasan dan gejala depresi,” jelasnya. Gangguan ini bisa terjadi pada semua usia, Ladies, termasuk anak-anak.
Ia berbeda dengan depersonalisasi yang dimaksudkan pada perasaan terlepas atau terasing dari diri sendiri. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan seseorang mengalami kedua gangguan ini sekaligus. Ini yang kemudian menjadi salah satu alasan yang membuat kedua hal ini sulit dibedakan.
Gejala-gejala
Sayangnya, hingga saat ini penyebab derealisasi tidak pasti pada faktor-faktor tertentu. Meski begitu, ada beberapa hal yang berpotensi menjadi penyebabnya, di antaranya gangguan kesehatan mental yang telah dimiliki. Mereka yang mengalami PTSD, panic disorder, atau gangguan kecemasan lainnya, biasanya mengalami derealisasi. “Individu dengan trauma kepala, epilepsi, dan kondisi neurologis lainnya, serta depresi dan gangguan kejiwaan lainnya juga dapat mengalami derealisasi,” jelas Magavi. Di samping itu, pengguna recreational drugs juga dapat menjadi trigger kemunculan depersonalisasi atau derealisasi.
Untuk mengetahui apakah kamu memiliki gangguan ini atau tidak, ada beberapa gejala yang dapat kamu amati. Gejala yang muncul pun menunjukkan tingkat keparahan yang kamu alami. Pada tahap ringan, kamu akan sering merasa seperti melamun. Sementara, pada tahap yang berat, kamu bisa merasa dirimu terlepas dari kenyataan. “Pasien saya menggambarkan derealisasi sebagai perasaan seperti ada dinding kaca antara mereka dan kehidupan di sekitarnya,” ucap Magavi.
Adapun gejala lain yang dapat kamu rasakan, seperti merasa bahwa lingkunganmu tampak buram, terdistorsi, tidak berwarna, atau tampak palsu. Begitu pula persepsimu tentang waktu dan jarak cenderung melenceng. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan, tergantung pada tingkat keparahan.
Sebenarnya, jika frekuensinya jarang, hal ini sepenuhnya normal kamu alami kok. Tapi, jika kamu merasa gangguan mental ini sering kamu alami dan menjadi parah, apalagi bila menganggu produktivitasmu, kamu perlu segera mencari dokter ahli. Tentu saja untuk mendapatkan perawatan yang tepat, Ladies.
Penanganan
Perawatan untuk derealisasi melibatkan psikoterapi. Menurut American Psychiatric Association, terapi membantu seseorang untuk memperoleh kembali kendali atas gejala disosiatifnya. Terapi juga mengajarkan bagaimana mengatasi pengalaman traumatis masa lalu atau gangguan lain yang menjadi trigger-nya.
Sementara terkait konsumsi obat, hingga saat ini tidak ada obat khusus untuk derealisasi. Tapi, jika trigger derealisasimu berasal dari gangguan lain seperti kecemasan atau depresi, antidepresan mungkin bisa membantumu. Meski begitu, tetap konsultasi dengan dokter ahli ya, agar perawatan yang kamu lakukan tepat sasaran.
Sumber: Hello Giggles