OUR NETWORK

Penelitian Deteksi Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di DKI Jakarta

Sidang terbuka doktoral Dokter Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, mengungkap hasil penelitian untuk tesis dengan judul ‘Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta’. Penelitian ini mengungkap bahwa 5 persen dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide untuk bunuh diri.

Pada 11 Juli kemarin, Dokter Nova Riyanti Yusuf, SpKJ yang kerap kali dipanggil Noriyu ini meraih gelar doktor di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Penelitian pada tesisnya mengungkap mengenai faktor serta kecenderungan ide bunuh diri pada remaja di DKI Jakarta.

Dari penelitian ini, didapatkan 5% pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri. Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39x lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri. Angka ini didapat setelah dilakukan kontrol terhadap beberapa faktor. Yaitu umur, sekolah, gender, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orangtua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.

Hasil penelitian tersebut pun tak jauh berbeda dari data WHO pada 2017 lalu.

Penelitian itu mengungkap angka kematian pada remaja berusia kurang dari 20 tahun secara global karena bunuh diri. “Bunuh diri di kalangan remaja semakin banyak terjadi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian terdahulu, tahun 2015-2016, yang sudah saya lakukan bersama Direktorat P2MKJN Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan. Dari 1.014 sampel ditemukan 19% memiliki ide bunuh diri tapi tidak melakukan. Dan 1% yang serius ingin melakukan bunuh diri. Selain itu, di tahun 2015 dilakukan penelitian Global School-Based Student Health Survey (GSHS) oleh Kementerian Kesehatan dengan jumlah responden 10.837 pelajar SMP dan SMA, yang dikategorikan sebagai umur remaja. Hasil penelitian ini 5,2% memiliki ide bunuh diri, 5,5% sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9% sudah melakukan percobaan bunuh diri,” beber Noriyu. Penjelasan ini disampaikan di konferensi pers setelah sidang doktoral yang juga dihadiri oleh Prof. Byron Good dari Harvard Medical School sebagai tim khusus penguji.

Baca juga: Bad Mood VS Depreso: Kenali Tanda dan Bedanya!

“Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor risiko. Yaitu pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk-taker. Transmisi genetik yang dapat menimbukan sifat agresif dan impulsif. Memiliki riwayat gangguan jiwa lain, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet,” jelas dr. Nova. Saat menjadi anggota DPR periode 2009-2014, beliau turut menyukseskan terbitnya UU Kesehatan Jiwa.

Mengenai deteksi dini, ia menjelaskan, “Upaya awal yang telah dilakukan di Indonesia adalah pengembangan instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa.”

Instrumen tersebut diberi nama Evaluasi Pelayanan Kasus Kesehatan Jiwa (EPK2J) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Namun, penelitian EPK2J menggunakan instrumen yang ditujukkan kepada orang dewasa. Secara teoritis dan empiris dapat disimpulkan bahwa penilaian risiko bunuh diri remaja berbeda dengan kelompok umur lainnya. Dengan kata lain, instrumen yang digunakan harusnya berbeda. Oleh karena itu, dengan berbagai pertimbangan di atas peneliti memutuskan untuk memodifikasi instrumen EPK2J yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Instrumen EPK2J yang dikembangkan oleh Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan mempunyai 5 dimensi sebagai hasil modifikasi 5 instrumen (Kementerian Kesehatan, 2016). Kemudian mengalami perkembangan lagi pada penelitian ini, menjadi 4 dimensi dengan 16 item pertanyaan.”

“Untuk pencegahan, Pemerintah telah banyak melakukan program sebagai langkah preventif. Seperti Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Konselor Sebaya, Rapor Kesehatanku, Usaha Kesehatan Sekolah dengan beberapa jalur intervensi atau penanganan masalahnya. Ada pula Poskestren, Sekolah Ramah Anak (SRA), Program kesehatan jiwa berbasis sekolah, dan Program di FKTP,” imbuh dr. Nova.

Ia menambahkan, “Instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja yang dikembangkan melalui penelitian ini diharapkan dapat memperkuat peran ilmu kesehatan masyarakat dalam upaya pencegahan bunuh diri. Sayangnya, penelitian di bidang pencegahan bunuh diri pada remaja di Indonesia masih terbatas, sehingga belum banyak referensi tentang upaya pencegahan bunuh diri pada remaja yang berbasis bukti dan spesifik untuk Indonesia.”

Must Read

Related Articles