OUR NETWORK

Opini: Bentuk Pelanggengan Budaya Konsumerisme dan Konsumtivisme Melalui Endorsement

“Senang banget deh bisa pakai tas yang cute dan modis ini. Selain muat banyak, model tasnya juga trendy dan nyaman banget. Yuk samaan sama aku. Pesan tasnya hanya di @xxxxx ya.”

Ladies pasti sudah tidak asing kan dengan caption foto Instagram seperti di atas? Iya, betul sekali, caption foto di atas biasanya kita temukan dalam foto-foto endorsement produk yang dilakukan oleh selebriti maupun selebgram.

Endorsement adalah sistem iklan berupa barter antara produk dengan jasa dukungan sehingga endorser biasanya berasal dari kalangan berpengaruh. Seperti yang dilansir dalam artikel laman celebritycred.com, sejarah endorsement dimulai di awal tahun 1900-an. Saat itu, bintang olahraga seperti Ty Cobb, Babe Ruth, dan Cy Young di-endorse oleh beberapa perusahaan tembakau. Awalnya, endorser memberikan jasanya dengan bayaran berupa produk yang diiklankannya. Namun dalam perkembangannya, jasa endorser di media sosial kini menjadi memiliki tarif tertentu, tergantung pada jumlah followers di Instagram. Sistem endorsement yang umum dipakai saat ini adalah penjual memberikan produk beserta caption, lalu selebgram akan mengunggah foto saat menggunakan produk tersebut. Biasanya dicitrakan sedemikian rupa sehingga terkesan barang tersebut digunakan setiap hari dan memiliki manfaat besar. Foto endorsement tersebut biasanya akan dihapus dalam waktu beberapa bulan.

Semakin menjamurnya endorsement tidak terlepas dari peran media sosial dalam menghilangkan batas ruang dan waktu.

Masyarakat biasa dapat dengan bebas berinteraksi dengan kalangan yang semula berada jauh dari jangkauannya, seperti kalangan selebriti, atau pejabat. Hal ini merupakan keuntungan besar terutama untuk kalangan pedagang sebab interaksi langsung tersebut seakan menguatkan ikatan batin antara penggemar dengan idolanya.

Efektivitas sistem endorsement ini datang dari sistemnya yang praktis, juga hasilnya yang cukup memuaskan. Meskipun tidak memberikan hasil langsung, namun pemilik olshop dapat menambah foto dan testimoni untuk menggaet pembeli. Followers juga memengaruhi hasil penjualan. Apabila followers endorser sesuai dengan segmen produk suatu olshop, maka kemungkinan besar endorsement akan berhasil. Jumlah followers saja tidak menjamin efektivitas endorsement karena ada beberapa selebgram yang melakukan pembelian followers. Untuk dapat mendapatkan jasa endorse dari selebriti, olshop harus merogoh kocek cukup dalam. Berdasarkan wawancara pemilik akun manajemen endorse yang dilakukan Wolipop, selebriti yang memiliki 8 juta pengikut memiliki tarif endorsement mencapai Rp 8 juta bahkan lebih. Selebriti dengan followers lebih banyak tentu memiliki tarif lebih tinggi lagi.

Selebriti Indonesia yang cukup aktif melakukan endorsement diantaranya adalah penyanyi Ayu Ting Ting, (17 juta followers) dan pesinetron Chelsea Olivia Wijaya (11 juta followers). Produk yang di-endorse kedua bintang tersebut pun beragam. Dari makanan, pakaian, hingga produk tas, camilan, produk perawatan wajah, perlengkapan mandi, peralatan dapur, dan ragam aksesoris.

Meskipun terlihat memiliki banyak nilai positif, namun endorsement ini harus diwaspadai.

Melalui sistem endorsement, masyarakat seperti diberi jalan tol untuk memasuki budaya konsumersime dan konsumtivisme. Konsumerisme adalah paham yang menjadikan seseorang atau suatu kelompok masyarakat menjalankan proses konsumsi (penggunaan barang-barang) secara berlebihan secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia sebagai pecandu dari suatu produk sehingga ketergantungan tersebut sulit dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menimbulkan penyakit jiwa. Sementara konsumtivisme adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak adanya skala prioritas. Kalau ini terdengar familier, mungkin sebaiknya ladies semakin waspada dengan kebiasaan belanja.

Industri memanfaatkan popularitas selebriti dan fanatisme untuk menciptakan kesadaran semu bahwa kebahagiaan dan kenyamanan mampu didapatkan dari produk-produk yang mereka iklankan. Masyarakat dibujuk untuk membeli barang yang sesungguhnya tidak mereka butuhkan hanya demi kepuasan batin. Seperti caption foto Ayu Ting Ting yang diunggah pada tanggal 14 Oktober 2016,

“Ayu cinta bangett produk buatan Indonesia.. kaya contohnya tas yg Ayu pake ini.. handmade aslii buatan anak bangsa, dan pastinya kulit asli donkk.. harga jauh lebih murah daripada beli tas kw2 yg bukan kulit asli.. nih beli di langganan Ayu @olive_kierra, jadi buat kalian yg pusing2 nyari tas handmade local dgn kualitas bagus, buruan beli di @olive_kierra ajaa.. yuk kembaran ma Ayu”

Produk yang dipromosikan Ayu Ting Ting adalah produk tas kulit lokal buatan tangan. Dengan menggunakan kata kunci seperti “anak bangsa”, “murah”, dan “kembaran”, foto tersebut mengajak penggemar Ayu Ting Ting untuk membeli tas tersebut agar dapat memiliki barang yang sama dengannya terlepas dari berguna atau tidaknya produk tersebut.

Lain lagi dengan pesinetron Chelsea Olivia Wijaya  dan pasangannya, Glenn Alenskie. Melalui akun Instagram-nya, Chelsea bukan hanya mendorong followers-nya menjadi konsumtif, tetapi juga membentuk citra kehidupan ideal. Hal yang menarik adalah proses pernikahan, kehamilan hingga kelahiran putri pasangan Chelsea dan Glenn yang dicitrakan dipenuhi keindahan dan kebahagiaan dan diabadikan oleh fotografer terkenal. Pernikahan bak puteri di negeri dongeng, bulan madu dan babymoon yang seakan tidak pernah berakhir, foto kehamilan, dan tentu saja disisipi oleh berbagai endorsement yang mendukung kehidupan bahagia mereka.

Secara sadar ataupun tidak, selebriti telah menggiring followers-nya untuk memasuki budaya konsumtif melalui endorsement.

Fanatisme penggemar merespon pancingan tersebut dengan baik sehingga sistem endorsement terus langgeng. Tidak berhenti di situ, Instagram pun telah menjadi alat mengampanyekan gaya hidup mewah selebriti. Tentu saja siapapun, termasuk para selebriti, memiliki kebebasan untuk menentukan sumber pemasukan dan gaya hidupnya. Namun menjadi persoalan lain ketika mereka sudah mempublikasikannya di media sosial yang merupakan ruang publik.

Kehati-hatian dan kebijaksanaan diperlukan saat mengunggah foto yang mengandung muatan kampanye gaya hidup. Apalagi foto-foto yang diunggah ke Instagram telah direkayasa sudut pengambilan, warna, dan kecerahannya agar terlihat menarik. Kesadaran semu bahwa kehidupan selebriti dipenuhi kebahagiaan dan kesenangan seakan telah terbukti. Followers yang sebagian besar adalah penggemar akan perlahan-lahan mengikuti gaya hidup idolanya. Hal tersebut bukan masalah bagi siapapun yang sanggup menerapkan gaya hidup mewah. Akan tetapi bagi mereka yang berasal dari kalangan bawah, keinginan tersebut semakin menambah beban hidup mereka.

Nah ladies, sebaiknya kita tidak dengan segera menelan mentah-mentah rayuan endorsers ya. Sah-sah saja apabila kita belanja produk rekreasi sesekali, namun tetap harus ada uang yang masuk ke rekening tabungan. Jangan sampai kita foya-foya di awal, tapi kesusahan di akhir. Kita harus mampu menyusun skala prioritas kebutuhan hidup. Dorongan industri ke dalam arus konsumerisme dan konsumtivisme dapat ditahan apabila kita sebagai masyarakat dapat mengendalikan pengeluaran.

 

Must Read

Related Articles