Beberapa hari ke belakang ini media sosial seperti Instagram dan Twitter sedang diramaikan oleh tagar #JusticeForAudrey. Viralnya kasus bermula dari sebuah utas (thread) di Twitter dari akun @zianafazura yang mengangkat kasus pengeroyokan seorang siswi SMP berusia 14 tahun oleh 12 orang siswi SMA.
Audrey seorang pelajar SMP di Pontianak dikeroyok 12 perempuan berstatus pelajar SMA terbaring di rumah sakit.
Salah satu pelaku mencolok kemaluannya untuk membuat korban tidak perawan lagi dan saat ini menimbulkan pembengkakkan di area kewanitaan korban.😭🤬#JusticeForAudrey pic.twitter.com/EAYVklvSpX
— #JusticeForAudrey (@zianafazura) April 9, 2019
Dalam utas tersebut, pemilik akun memaparkan bahwa korban dipukuli, kepalanya dibenturkan ke aspal, dan bahkan mendapatkan pelecehan seksual. Korban kini dirawat di rumah sakit dengan kondisi mengenaskan, sementara para pelaku tampak tidak merasa bersalah dan justru memanfaatkan momen ini untuk meraih popularitas. Beredar juga isu bahwa para pelaku memiliki backing pejabat sehingga tidak segera ditangkap. Warganet yang terprovokasi kemudian berbondong-bondong memviralkan tagar #JusticeForAudrey dan bahkan membuat petisi di laman change.org.
Dibalut hoax
Satu hari setelah viral dan mendapatkan perhatian dari warganet, public figure, hingga pejabat, berbagai fakta mengenai kasus ini mulai terungkap. Sayangnya, fakta yang terungkap adalah fakta yang tidak menyenangkan.
Fakta pertama adalah tidak terjadi pelecehan seksual dalam peristiwa pengeroyokan tersebut. Fakta ini didapatkan dari hasil visum korban yang menunjukkan tidak adanya pembengkakan, kerusakan, atau luka di arena genital. Hasil visum adalah bukti otentik yang tidak dapat dibantah sehingga kekerasan seksual yang dituduhkan kepada para pelaku terbukti tidak benar.
Fakta kedua adalah jumlah pelaku pengeroyokan. Akun @zianafazura mengungkapkan bahwa pelaku pengeroyokan mencapai 12 orang. Namun setelah polisi melakukan pengusutan, ternyata pelaku kekerasan hanyalah tiga orang, sementara ketujuh orang lainnya berstatus sebagai saksi. Penganiayaan yang dilakukan pada korban pun dilakukan secara bergantian, tidak bersama-sama, sehingga pelaku membantah bahwa mereka melakukan pengeroyokan.
Baca juga: Mengapa Orang Melakukan Bullying? Rupanya Ini Alasannya
Fakta ketiga adalah korban mengenal para pelaku. Sebelumnya pihak korban sempat mengaku bahwa ia tidak mengenal para pelaku. Namun, jejak digital dari akun Facebook dan Instagram membuktikan bahwa pelaku dan korban ternyata berteman cukup akrab. Para pelaku pun tidak menjemput paksa tetapi membuat janji dengan korban.
Fakta keempat adalah motif dari pelaku. Akun @zianafazura mengungkapkan bahwa motif pengeroyokan ini adalah permasalahan asmara. Akan tetapi dari kesaksian pelaku yang didapatkan dari pelaku, ternyata motifnya adalah sakit hati. Salah satu tersangka mengaku sakit hati karena korban seringkali mengungkit dan menyindir masalah utang almarhumah ibunya pada ibu korban. Selain itu, para pelaku dan korban pun terlibat cekcok di media sosial yang berujung janji duel di tepi Sungai Kapuas.
Meskipun ada banyak fakta yang dibantah, para pelaku mengakui bahwa mereka melakukan penganiayaan berupa menjambak rambut, mendorong sampai terjatuh, memiting, dan melempar dengan sandal.
Mendikbud turun tangan
Kehebohan kasus Audrey ini pun mendapat perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi. “Kasus ini sangat disayangkan dan tidak seperti yang viral di medsos setelah saya mendapat informasi langsung dari Kapolresta Pontianak Kompol Muhammad Anwar Nasir,” kata Mendikbud Muhadjir Effendi, seperti yang dilansir Antara (11/4/2019).
Senada dengan Mendikbud, polisi pun menganggap cerita viral versi warganet tersebut sangat berbahaya. Pihak Komisi Perlindungan Anak Kalimantan Barat pun akan berkonsultasi pada Polda Kalimantan Barat terkait akun yang menyebarkan cerita yang tidak sesuai fakta terkait kasus ini.