Free Porn
xbporn

https://www.bangspankxxx.com
OUR NETWORK

Pemenuhan Hak ODGJ/ODMK dalam Sistem Hukum

Tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya. Pedoman ini merupakan sebuah inovasi untuk membantu psikiater untuk melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien.

KBAP menjadi panduan yang dapat membantu tercapainya Pemeriksaan Kecakapan Mental yang Berkualitas sebagai salah satu cara untuk memenuhi hak ODGJ/ODMK dalam sistem hukum di Indonesia.

Eugenia Siahaan, Founder Eugenia Communications mengemukakan, “Ruang Tamu merupakan wadah diskusi Media dengan para pakar di bidangnya masing-masing. Kali ini kami memilih topik Pemenuhan Hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) atau Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) mengingat masalah Gangguan Jiwa merupakan masalah yang kerap ditemui di masyaraka, tapi informasi tentang hal ini masih kurang memadai. Terlebih lagi bila masalah ini dikaitkan dengan Sistem Hukum kita.”

Pemenuhan Hak ODGJ/ODMK dalam Sistem Hukum
Dr.dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K)

Diskusi Media pada acara Ruang Tamu Eugenia Communications berlangsung pada Kamis (8/12) pagi. Dalam acara tersebut, Dr. dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked, Kepala Divisi Psikiatri Forensik Departemen Psikiatri FKUI-RSCM mengatakan, “ODGJ/ODMK masih rentan mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi hak-haknya saat berhadapan dengan hukum karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa, apalagi banyak ODGJ/ODMK yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan.”

Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa yang berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan mendapatkan keadilan.

Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pun sangat beragam. Namun, gangguan jiwa tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal. Psikiatri forensik adalah cabang subspesialistik dari psikiatri. Cabang ini dapat menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang. Dengan demikian, membantu memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang untuk menjadi pertimbagan pengambilan keputusan. Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup hukum pidana, perdata, dan administrasi.

Contohnya pada kasus ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi sampai mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya. Psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya. Penjelasna tersebut dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukuman penjara.

Menurut dr. Natalia, tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah karena hanya sedikit gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe di mata awam. Mayoritas justru terlihat seperti orang “biasa” tanpa perubahan yang mencolok jika dilihat sekilas. “Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka berhadapan dengan ODGJ/ODMK. Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis, dan situasional.”

Layanan psikiatri forensik di Indonesia juga masih dalam proses perkembangan sehingga belum merata.

Jumlah konsultan psikiatri forensik masih sangat terbatas dan hanya 8 orang yang maish aktif memberikan layanan. Oleh karena itu, kebanyakan mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum. Penelitian berskala nasional pun menunjukkan bahwa lebih dari 60% psikiater Indonesia memilih untuk merujuk kasus psikiatri forensik ke konsultan karena menganggapnya sulit dan ‘berbahaya’.

Sementara tu, aturan yang berkaitan dengan ODGJ/ODMK yang berhadapan dengan hukum pun belum sepenuhnya mengakomodasi pendekatan restorative justice terkini. Kasus psikiatri forensik juga masih identik dengan tingginya risiko konflik medikolegal. Pemanfaatan sosial media juga sering membuat konflik medikolegal meluas ke ranah umum dan mengundang tekanan dari pihak eksternal.

“Untuk menjawab tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas layanan psikiatri forensik, KBAP sebagai sebuah inovasi diuncurkan untuk membantu psikiater untuk melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien, analisis yang tajam, dan menyampaikannya dengan lugas baik secara lisan ataupun tertulis. KBAP disusun dengan melibatkan pakar-pakar lintas disiplin dari kedokteran (psikiatri, psikiatri forensik, kedokteran forensik-medikolegal, pendidikan kedokteran), psikologi forensik, dan hukum (akademisi, pengacara, jaksa, hakim) sehingga mampu menjawab kebutuhan konkrit sesuai konteks dan praktik di lapangan,” tegasnya.

KBAP mencakup pedoman seluruh rangkaian pemeriksaan, mulai dari

  1. Persiapan
  2. Pengumpulan data dan analisis
  3. Penulisan laporan, dan 
  4. Penyampaian keterangan di sidang sehingga sehingga dapat menjadi panduan yang utuh bagi psikiater dalam melakukan layanan psikiatri forensik. 

KBAP tidak hanya menguraikan apa saja yang perlu dilakukan oleh psikiater, tetapi juga memberikan gambaran kepada pihak penegak hukum mengenai hal-hal yang perlu ditelaah dan dipertimbangkan. 

Pedoman KBAP telah dilatihkan pada psikiater secara daring melalui platform psikfor.id. Pada akhir pelatihan, modul ini terbukti membantu psikiater dalam mengorganisasi pemeriksaan, mempertajam analisis, dan menjaga objektivitas mereka. Mereka juga lebih mampu menelaah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi psikologis ODGJ/ODMK dan membutuhkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang.

Sementara itu, Fajri Nursyamsi SH, MH. Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) pada kesempatan yang sama juga memberi pemaparan.

Pemenuhan Hak ODGJ/ODMK dalam Sistem Hukum
Fajri Nursyamsi, S.H.,M.H.

“Kondisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan. Namun, kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat dibebaskan dari hukuman. Penilaian harus dilakukan kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi.”

Fajri menambahkan bahwa aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal. Pertama, kondisi kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum. Tujuannya agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik, dan infromasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Pasal 44 ayat (1) KUHP telah mengatur perihal dasar pemaaf yang dapat dimaknai bahwa jika seseorang mengalami gangguan kejiwaan pada saat melakukan tindak pidana, sehingga tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya itu, maka tidak dipidana. Pasal 44 ayat (2) pun mengatur bahwa hakim dapat memerintahkan pemberian pengobatan kepada orang tersebut. 

Penilaian personal oleh ahli terkait dengan kondisi kejiwaan tersangka atau terdakwa itu juga dapat dijadikan dasar untuk aparat penegak hukum memberikan dukungan layanan atau fasilitas untuk memperlancar proses pemeriksaan terhadap seseorangan dengan disabilitas mental yang sudah diatur pula dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan,” tutupnya.

Must Read

Related Articles