Penyakit autoimun memiliki banyak jenis, Ladies. Salah satunya yang mungkin jarang terdengar adalah inflammatory bowel disease (IBD), yang dikenal juga dengan peradangan usus kronis. Penyakit ini menciptakan komplikasi, bahkan kematian hingga bagi penderitanya. Sayangnya, saat ini kesadaran masyarakat terhadap IBD masih rendah. Gejala umum IBD adalah diare, yang masih sulit dibedakan antara diare biasa dengan diare yang mengarah ke IBD.
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa IBD merupakan ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar, di mana elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri. IBD ditandai dengan episode peradangan saluran cerna berulang yang diseabkan oleh respon imun yang abnormal terhadap mikroflora usus. Secara klinis, IBD secara keliru sering disamakan dengan irritable bowel syndrome (IBS).
Dalam Virtual Seminar Media pada Rabu (20/1) pagi, Prof. Dr. dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH, Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RSCM-FKUI menjelaskan lebih jauh mengenai IBD dan IBS. “Baik IBD maupun IBS menyebabkan sakit perut, kram, dan buang air besar yang mendesak (diare). Namun, IBS masih diklasifikasi sebagai gangguan fungsional dan tidak menimbulkan peradangan, sedangkan IBD sudah diklasifikasi sebagai gangguan organik yang disertai dengan kerusakan pada seluran cerna. IBD tentu lebih berbahaya karena dapat menyebabkan peradangan yang merusak dan kerusakan ini bisa bersifat permanen pada usus. Bahkan salah satu komplikasinya bisa meningkatkan risiko Kanker Usus Besar,” tutur Prof. Murdani.
Inflammatory bowel disease atau IBD terbagi menjadi 2 tipe.
Yang pertama adalah Ulcerative Colitis (UC), di mana terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rektum. UC biasanya menyebabkan penderita merasa nyeri di bagian kiri bawah perut. Yang kedua adalah Chron’s Disease, di man aterjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam. Penderita biasanya merasa nyeri di bagian kanan bawah perut, namun pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang. Saat ini terdapat juga tipe lain dari IBD yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified).
Gejala penyakit radang usus berbeda dan tergantung pada tingkat keparahan peradangan dan lokasi terjadinya peradangan. Pada UC dan CD, gejala umum yang perlu diwaspadai adalah diare, kelelahan, sakit perut dankram, nafsu makan berkurang, darah pada feses, dan penurunan berat badan. Prof. Murdani juga menjelaskan bahwa penyebab IBD belum diketahui jelas. “IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stres berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit.”
Jika dibiarkan, IBD dapat memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan.
Pada UC, penderita dapat mengalami pembengkakan usus besar, lubang pada usus besar, dehidrasi berat, dan meningkatkan risiko kanker usus besar. Sedangkan pada CD, penderitanya juga dapat mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus). Apabila dibiarkan, keduanya bisa menciptakan komplikasi seperti penggumpalan darah, radang kulit, mata, sendi, dan komplikasi lainnya.
Daam kesempatan yang sama, dr. Rabbinu Rangga Pribadi, Sp.PD, Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSCM-FKUI menyatakan dalam praktiknya, pengobatan IBD sangat dinamis. Hal ini dikarenakan karena proses penyakitnya yang juga dinamis, di satu waktu dapat terkontrol dengan obat dan diet, tapi di waktu lainnya dapat kambuh. Menurutnya, para dokter memiliki berbagai macam pilihan pengobatan, walau ada beberapa obat yang tidak dapat diakses secara luas karena tidak ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional. Terkadang pasien juga memerlukan kombinasi 2 obat atau bahkan operasi untuk membuang bagian usus yang mengalami peradangan.
“Pada dasarnya, kesulitan pertama yang paling sering dihadapi adalah memastikan diganosis pada pasien. Apakah IBD atau radang usus yang disebabkan infeksi lainnya. Kesulitan kedua yang juga paling sering dihadapi adalah terbatasnya akses pasien terhadap agen biologik karena masalah biaya. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa agen biologik memiliki manfaat yang besar terutama pada pasien IBD dengan derajat keparahan sedang dan berat,” jelas dr. Rabbinu lebih jauh.
Kesadaran dan pengetahuan tentang IBD juga sangat diperlukan dan masih harus ditingkatkan. Selain bagi pasien, keluarga, dan caregiver, kesadaran masyarakat luas perlu ditingkatkan terhadap bahaya IBD melalui edukasi berkelanjutan.
Tatalaksana penyakit IBD dijelaskan oleh Prof. dr. Marcellus SImadibrata, Ph.D, Sp.PD, KGEH, FACG, FASGE, Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RSCM-FKUI. Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, temuan patologi, radiologi, endoskopi (untuk Chron’s Disease) dan kolonoskopi untuk UC). Tatalaksana penyakit IBD dapat melalui terapi obat, operasi pembedahan, atau kombinasi keduanya.
Idham Hamzah, Presiden Direktur PT Takeda Indonesia menyatakan komitemen Takeda terhadap kesehatan pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien terkait IBD di Indonesia, bermitra dengan asosiasi medis, dan mendukung pelatihan kepada tenaga kesehatan.
“Kami berkomitmen untuk mengembangkan dan menyediakan obat-obatan yang sangat inovatif kepada semua masyarakat di Indonesia yang membutuhkan, sejalan dengan fokus kami untuk menempatkan pasien menjadi yang utama. Saat ini, Takeda merupakan pemimpin di bidang gastroenterologi, salah satunya terkait penyakit IBD.”