Menyadari penyebaran virus corona yang semakin meluas, Pfizer memutuskan untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak di dunia kesehatan. Kolaborasi ini betujuan untuk mengatasi krisis kesehatan global akibat Covid-19.
“Sebagaimana rencana Pfizer dalam menghadapi tantangan kesehatan masyarakat, melalui kerjasama dengan mitra industri dan lembaga akademik, kami mengembangkan pendekatan baru yang berpotensi untuk mencegah dan mengobati Covid-19,” ucap Chairman dan CEO Pfizer, Albert Bourla.
Kolaborasi yang dilakukan, salah satunya bersama dengan BioNTech SE mengembangkan senyawa antivirus untuk mengobati SARS-Cov-2. Adapun, fokus kolaborasi ini ialah pada program pembuatan vaksin virus corona berbasis mRNA yang bertujuan untuk mencegah infeksi Covid-19. Kedua pihak ini juga berharap, hasil penelitian dapat digunakan untuk mengevaluasi terapi lain yang dapat membantu pasien yang telah terinfeksi untuk melawan virus tersebut.
“Kami mengumumkan bahwa bulan Maret, kami berkolaborasi dengan BioNTech untuk bersama-sama mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis mRNA, yang mungkin akan menjadi yang pertama di kelasnya,” ungkap Chief Scientific Officer and President, Worldwide Research Development & Medical Pfizer, Mikael Dolsten.
Berdasarkan hasil skrining awal, Pfizer memastikan ada senyawa dan analog yang berpotensi menghambat SARS-CoV-2 3C (3CL) protease.
Selain itu, berpanduan dari data awal, diketahui agen penghambat protease menunjukkan adanya aktivitas anti-virus terhadap SARS-CoV-2. Berdasarkan data ini, Pfizer memulai studi konfirmasi pra-klinis, termasuk menganalisa sifat anti-virus tersebut. Studi ini juga menilai kesesuaian senyawa tersebut secara klinis untuk diberi Intra Vena.
Uji klinis atas kandidat vaksin Covid-19 ini akan dilakukan Pfizer dan BioNTech secara bersama di Amerika Serikat dan beberapa lokasi penelitian di Eropa. Selanjutnya, akan menyebar di berbagai pusat penelitian di dunia. Adapun uji klinis ini paling cepat akan dilakukan pada akhir April 2020, setelah izin resmi terbit.
Diperkirakan pada akhir tahun 2020 akan ada pasokan jutaan dosis vaksin sebagai bentuk keberhasilan program pengembangan dan terbitnya persetujuan pihak berwenang. Kedua hal ini dinilai akan menjadi faktor utama kecepatan peningkatan kapasitas produksi ratusan juta dosis pada 2021 mendatang.
Segala informasi terkait penanggulangan Covid-19 ini akan diterbitkan oleh para peneliti Pfizer dalam Jurnal Kedokteran Clinical Pharmacology and Therapeutics. Adapun data klinis dan in vitro yang telah dipublikasikan ialah data terkait azithromycin sebagai molekul yang memiliki aktivitas anti-virus. Ulasan ini dibuat bersifat terbuka dengan tujuan untuk memfasilitasi penggunaan azithromycin sebagai bagian dari riset tentang Covid-19 di masa mendatang. Meski begitu, hingga saat ini belum ada persetujuan resmi terkait azithromycin sebagai obat dari infeksi virus.
Di samping tentang azithromycin, Pfizer Inc. tengah berupaya meluncurkan dua studi terbaru terkait interaksi S. pneumonia dan SARS-Cov-2.
Studi ini dilakukan bersama dengan Liverpool School of Tropical Medicine’s Respiratory Infection Clinical Research Group. Studi SAFER (SARS-Cov-2 Acquisition in Frontline Health Care Workers – Evaluation to Inform Response) dan studi FASTER (Facilitating A SARS Cov-2 Test for rapid triage) ditujukan untuk mengetahui apakah pasien yang terinfeksi COVID-19 juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap munculnya pneumonia akibat pneumokokus. Juga untuk mempelajari apakah pasien yang memiliki kedua infeksi tersebut akan menyebabkan penyakit itu lebih parah hingga kondisi akhir yang lebih buruk.
Dengan melibatkan 100 tenaga kesehatan di Rumah Sakit Royal Liverpool, studi SAFER akan fokus pada hubungan antara SARS-Cov-2 dan kolonisasi pneumokokus. Sementara, pada studi FASTER akan melibatkan perekrutan 400 pasien dari bangsal penyakit infeksi di rumah sakit yang sama yang dicurigai terinfeksi virus corona. Kedua belah pihak memperkirakan data akan terkumpul dalam beberapa bulan ke depan.
Selanjutnya, penelitian fase 2 direncanakan akan dilakukan akhir pekan di Italia oleh peneliti independen tentang penggunaan tofacitinib. Ini adalah agen oral penghambat Janus Kinase (JAK), pada pasien dengan pneumonia interstitial SARS-Cov-2. Dalam penelitian ini, Pfizer berperan sebagai pemberi dana hibah untuk kelangsungan penelitian tersebut.
Pihak Pfizer pun mengaku tengah berdiskusi dengan institusi lain terkait studi tambahan yang melibatkan tofacitinib dan modulator imun potensial lainnya. Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa penghambat JAK dapat mengurangi peradangan sistemik dan alveolar pada pasien dengan pneumonia terkait COVID-19. Hal ini dilakukan dengan cara menghambat keterlibatan sinyal sitokin esensial dalam respon peradangan imun. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan berakibat munculnya gejala pernapasan akut pada pasien COVID-19. Namun, penggunaan tofacitinib saat ini tidak disetujui penggunaannya untuk pasien dengan infeksi serius aktif.
Berbagai kolaborasi dengan pihak kesehatan yang dilakukan Pfizer ini, diakui Dolsten, dilakukan untuk menghemat waktu. Sekaligus untuk menemukan banyak potensi untuk mengatasi ancaman terhadap kesehatan publik, sebagaimana virus corona saat ini.
“Meskipun pekerjaan ini dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun, kami berupaya semaksimal mungkin menemukan peluang untuk menghemat waktu dan memilih bekerja secara paralel daripada secara linier,” jelasnya.
Sumber: Pfizer