Wregas Bhanuteja, seorang sutradara yang namanya tidak asing di dunia perfilman Indonesia, kembali memukau penonton dengan karya terbarunya, Budi Pekerti. Sebelumnya, dia telah meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik di Festival Film Indonesia melalui film Penyalin Cahaya.
Kali ini, Wregas hadir dengan sajian yang tak hanya menghibur, tetapi juga membuat penonton berpikir mendalam tentang kengerian media sosial dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, hal yang membuatnya mampu meraih 17 nominasi FFI tahun ini, apakah layak?
Budi Pekerti Menawarkan Teror Menakutkan
Film Budi Pekerti adalah sebuah drama yang disajikan dalam kemasan yang mencekam, mirip dengan film horor, karena begitu relevan dengan realitas sosial kita saat ini. Sang Sutradara berhasil menggambarkan konflik yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang.
Pertunjukan ini menceritakan bagaimana media sosial dapat menghancurkan kehidupan seorang guru bernama Bu Prani, dan keluarganya hanya lewat video berdurasi 20 detik. Konflik yang dihadirkan dalam film ini dirasakan sangat nyata, manusiawi, dan mampu menggugah emosi penonton.
Kisah yang dialami oleh Bu Prani dalam film ini adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi pada siapa pun di era digital ini. Pertunjukan yang berhasil membuat semua penonton merenung. Film Budi Pekerti mendorong kita untuk lebih berhati-hati dalam berinteraksi di ruang publik dan juga bijak dalam menggunakan media sosial.
Belum Bisa Move On
Namun, ada beberapa yang mengkritik bahwa cara konflik disajikan dalam film ini mirip dengan Penyalin Cahaya, karya sebelumnya dari Wregas. Hal ini bisa membuat perkembangan konflik dalam karya yang sekarang terasa terlalu mudah ditebak, termasuk nasib akhirnya. Pertanyaan muncul apakah ini adalah ciri khas dari Wregas sebagai sutradara atau karena cerita yang diangkat terlalu manusiawi sehingga alur ceritanya menjadi terlalu terduga.
Akting yang Memukau
Salah satu kekuatan film ini terletak pada akting pemainnya. Para pemain utama, seperti Sha Ine Febriyanti yang memerankan Bu Prani, Dwi Sasono sebagai suaminya, Prilly Latuconsina sebagai anak pertama, dan Angga Yunanda sebagai anak kedua Bu Prani, mampu menyampaikan emosi karakter mereka dengan sangat baik.
Sha Ine Febriyanti berhasil menggambarkan perubahan emosi Bu Prani dengan indah, dari ketenangan hingga keputusasaan. Dwi Sasono menggambarkan karakter yang mengidap bipolar dengan sangat meyakinkan. Prilly dan Angga pun berhasil menghadirkan perasaan gundah dengan caranya masing-masing.
Di luar para pemain utama, Omara Esteghlal yang memerankan Gora, mantan murid Bu Prani, juga tampil memukau dan mencuri perhatian penonton. Mereka semua layak mendapatkan apresiasi atas akting mereka dalam film ini, bahkan berpotensi masuk dalam nominasi Piala Citra 2023.
Selain akting yang kuat, Film Budi Pekerti juga memiliki sinematografi yang menakjubkan dan skor musik yang mendukung adegan-adegan dramatis dalam film. Pengambilan gambar dalam film ini memberikan atmosfer yang intens dan dramatis.
Scoring dan soundtrack yang disertakan sepanjang film mampu memperkuat emosi penonton, terutama dalam momen-momen penting. Harus diakui Wregas Bhanuteja telah berhasil menghadirkan karya sinematik yang menggugah pikiran melalui.
Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pesan yang relevan tentang bahaya media sosial dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Meskipun ada beberapa kritik terkait kesamaan cara penyajian cerita dengan karya sebelumnya.
Film ini masih berhasil menggugah perasaan dan pikiran penonton dengan akting yang kuat, sinematografi ciamik, dan scoring yang mendalam. Film Budi Pekerti merupakan karya yang patut ditonton dan diperbincangkan, mengingat relevansinya dengan dunia sosial dan digital saat ini, tidak heran bila poin untuk pertunjukan ini adalah 8 dari 10.