OUR NETWORK

Opini: Budaya Mengantre di Indonesia

Mengantre adalah kegiatan yang membosankan, dan menyebalkan tetapi tidak dapat dihindari. Saat membeli makanan, membayar belanjaan, dan bahkan masuk ke kendaraan, ladies diharuskan untuk mengantre karena orang lain pun banyak yang melakukan hal serupa. Disadari atau tidak, budaya mengantre di Indonesia belum begitu kuat. Hal tersebut dapat dirasakan ketika menaiki KRL, misalnya. Baik penumpang yang hendak turun ataupun naik tidak mau mengantre dengan tertib sehingga semuanya berdesak-desakkan. Penumpang yang hendak menaiki KRL pun tidak bersedia menunggu penumpang yang turun karena takut kehabisan bangku KRL. Bentrokan antara dua penumpang yang berbeda arah dan tujuan ini mengakibatkan pergumulan di mulut pintu KRL yang sebetulnya berisiko menimbulkan bahaya bagi penumpang. Seperti jatuh atau tersangkut di celah antara KRL dan peron, tersandung, atau kehilangan barang.

sembako

Contoh lainnya adalah saat pembagian sembako ataupun pembagian daging kurban. Seakan tidak pernah belajar dari kesalahan, pembagian sembako dan daging kurban selalu berlangsung ricuh. Tidak jarang beberapa orang jatuh pingsan karena kekurangan oksigen saat terjepit di tengah lautan manusia. Alasan mereka umumnya adalah “takut tidak kebagian”. Contoh yang lebih ekstrem adalah saat antrean lampu merah. Kendaraan, terutama motor, berlomba-lomba menyalip kendaraan di depannya, dan bahkan saat baru lampu kuning yang menyala, sudah banyak pengendara yang langsung tancap gas. Tindakan tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan nyawa pengguna jalan.

Kebudayaan mengantre identik dengan kesabaran dan kesadaran seorang individu.

Saat kebudayaan antre tidak dapat terwujud, maka secara otomatis masyarakat Indonesia secara umum dianggap belum memiliki kesabaran dan kesadaran yang mapan. Namun melihat dari alasan yang dikemukakan masyarakat yang berebut sembako dan daging kurban, ekonomi pun menjadi salah satu penyebab sulitnya budaya antre berkembang di masyarakat. “Kapan lagi ada kesempatan mendapatkan sembako/daging. Saya harus mendapatkannya, apapun yang terjadi!”, mungkin itu lah yang ada di pikiran masyarakat saat rela menerobos puluhan bahkan ratusan orang untuk mendapatkan sebuah bingkisan.

Selain kesabaran dan kesadaran, mengantre juga membutuhkan perasaan menghormati dan simpati pada orang lain. Saat mengantre, orang lain, sama seperti ladies, sama-sama sedang menunda kepentingannya masing-masing. Saat mengantre pembayaran obat di apotek, orang lain pun sama-sama sedang ditunggu oleh kerabat atau temannya yang sakit. Saat mengantre pembayaran makanan di restoran, orang lain pun sama-sama sedang menahan rasa laparnya. Saat mengantre masuk ke transportasi umum, orang lain pun sama-sama was-was akan kehabisan bangku atau tidak. Saat mengantre mendapatkan sembako, orang lain pun sama-sama membutuhkan sembako tersebut untuk bertahan hidup. Saat mengantre pembagian daging, orang lain pun sama-sama ingin memakan panganan yang tidak selalu dapat dinikmatinya sering-sering. Hanya yang bersimpati tinggilah yang mampu menahan egonya untuk tidak ingin menang sendiri.

Di Indonesia, budaya mengantre memang ditanamkan sejak kecil, tetapi berhenti saat memasuki usia remaja.

Tentu ladies mengalami saat di TK ataupun SD, murid-murid diminta untuk berbaris di depan kelas untuk diperiksa kerapiannya, setelah guru selesai memeriksa, baru murid-murid dipersilakan masuk. Saat masuk ke bangku SMP, kebiasaan ini hilang karena dianggap kekanak-kanakan. Tidak ada lagi pelajaran mengantre, murid-murid justru diarahkan untuk mementingkan nilai, padahal nilai moral lah yang jauh lebih penting. Indonesia harus belajar banyak mengenai budaya antre dan kerapian dari Singapura atau Jepang, yang dikenal dengan ketertibannya dan kebersihannya. Bahkan untuk menaiki bus saja, penumpang bersedia mengantre dan tidak jarang mendahulukan orang tua.

Kurang kuatnya budaya mengantre di Indonesia bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tetapi juga tanggung jawab petugasnya. Misalnya saja ladies sedang mengantre untuk berobat di rumah sakit. Ladies pasti tidak akan terlalu keberatan untuk mengantre jika melihat petugas administrasi terlihat cekatan dalam melayani pasien, dan juga tegas kepada masyarakat yang tidak taat mengantre. Akan lain halnya jika petugas tampak santai, pasti ladies akan merasa kesal. Petugas memiliki tugas besar untuk membuat masyarakat betah mengantre, dan masyarakat memiliki tugas untuk bersedia mengantre. Jika dua pihak saling bekerja sama, budaya mengantre akan lebih mudah diwujudkan.

Mengantre sebetulnya memiliki banyak sisi positif, diantaranya melatih manajemen waktu, mengasah simpati pada sesama, serta melatih disiplin dan kejujuran. Apakah ladies kesal saat melihat seseorang menyerobot antrian? Memang terkadang sulit untuk menegur orang di depan umum, tetapi jika sudah keterlaluan, ada baiknya ladies memberanikan diri untuk mengingatkannya. Namun jika terasa sulit, ladies bisa memulai kesadaran budaya mengantre dari diri sendiri dan kerabat terdekat.


Referensi:
mystupidtheory, merdeka.com, liputan6.com

Must Read

Related Articles