Beberapa hari belakangan media Indonesia sedang dihebohkan dengan pemberitaan ditangkapnya seorang wanita yang dianggap menebar kebencian berbau SARA di akun sosial media miliknya. Bukan hanya itu, penghinaan juga dilakukan oleh si pemilik akun yang kini ditetapkan sebagai tersangka karena telah menghina orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo. Setelah diusut, akhirnya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berhasil membongkar sindikat penebar ujaran kebencian yang bernama ‘Saracen’.
Hingga saat ini, pihak yang berwajib berhasil menciduk tiga orang tersangka dalam kasus penebar ujaran kebencian. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan terhadap tiga pelaku yakni SRN, JAS, dan MFT polisi berhasi menemukan fakta terkait sindikat penebar kebencian berbau SARA di media sosial.
Saracen Merupakan Sindikat yang Terorganisir Sejak 2015
Setelah ditilik lebih jauh, rupanya komplotan tukang sebar berita hoax dan berbau SARA tersebut memiliki struktur organisasi. Yep, seperti layaknya organisasi pada umumnya. Ada dewan pembina, ketua, dan anggota yang tergabung dalam koordinator wilayah.
“Kelompok Saracen memiliki struktur sebagaimana layaknya organisasi pada umumnya dan telah melaksanakan aksinya sejak November 2015,” terang Kasubdit Direktorat Tindak Pidana Siber, AKBP Susatyo Purnomo.
Dalam struktur organisasi yang sudah berdiri sejak dua tahun belakangan tersebut, lima anggota diantaranya memang sudah pernah mendapat tinta merah dari kepolisian akibat kasus yang serupa. Nama-nama yang terdaftar dalam struktur organisasi akan diamankan polisi untuk selanjutnya diinterogasi terkait dengan keanggotaannya. Polisi masih berusaha mengungkap siapa saja oknum-oknum pemesan ujaran kebencian tersebut.
Pasang Tarif Harga Tinggi untuk Sekali Ujar Kebencian
Rupanya tak main-main, Saracen beroperasi secara profesional. Mereka menggunakan proposal lengkap dengan tarif yang dipasang untuk mengumbar konten berisi ujaran SARA dan kebencian pada pihak yang dituju oleh klien. Biaya yang dikenakan pada para oknum ‘pembeli’ pun tak tanggung-tanggung. Dari tarif puluhan juta tersebut tak menyurutkan sang klien untuk tetap order.
“Dapat diibaratkan itu seperti pasar, ada penjual ada pembeli. Dia menawarkan itu senilai Rp75 juta sampai Rp100 juta, itu atas proposal ya,” ungkap Ajun Komisaris Besar Susatyo Purnomo di Mabes Polri.
Setelah klien sepakat dengan harga yang diberikan, barulah Saracen mulai bertindak menyebarkan berita-berita kebencian. Tak jarang, berita tersebut berbau SARA dan hoax. Berita tersebut nanti akan disebarluaskan melalui media sosial.
800 Ribu Akun Milik Saracen Bantu Sebarkan Berita
Pantas saja, jika ada berita hoax atau yang tergolong dalam pencemaran nama baik tokoh-tokoh masyarakat sangat cepat menyebar pada netter. Lagi-lagi tak main-main, untuk membantu penyebaran berita yang dibuatnya Saracen memiliki 800.000 akun sosial media meskipun tak menutup kemungkinan penulis saling tidak mengenal satu sama lain.
Salah satunya adalah konten yang berisi hinaan pada Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Presiden Joko Widodo yang dibuat oleh seorang pelajar SMK berinisial MFB (18 tahun). Ia menggunakan akun Facebook dengan nama Ringgo Abdillah untuk menyebarkan penginaan tersebut. Setelah ditelisik, rupanya ia tergabung dalam kelompok Saracen.
Hoax memang masih mudah sekali menyebar di Indonesia ya, Ladies. Mungkin ini juga yang menyebabkan kelompok seperti ini laku dan mendapat pasar. Yang mengenaskan, mereka juga kan sebenarnya orang Indonesia, tapi kok tega ya, melihat masyarakatnya jadi terpecah-belah? 🙁