Pernahkah kamu bertanya-tanya mengenai alasan mengapa kamu menganggap suatu hal dalam sebuah hubungan sebagai tindakan yang memalukan atau membuatmu tidak nyaman? Atau mungkin kamu tetap merasa tidak aman dengan hubungan yang telah kamu jalin dalam kurun waktu yang cukup lama dengan seseorang, hingga terlintas dalam pikiranmu untuk menyabotase hubungan tersebut. Well, berdasarkan ilmu psikologi, ternyata semuanya berkaitan dengan pola attachment yang dibentuk semasa kita kecil, Ladies!
Pola attachment yang kita bentuk bersama pengasuh utama pada awal kehidupan kita inilah yang kemudian akan memengaruhi cara kita berhubungan dengan orang lain di sepanjang hidup. Pola ini akan memandu kita dalam membentuk, menjalankan, dan mengharapkan bagaimana sebuah hubungan ‘ideal’ berjalan. Tak terkecuali dalam hubungan romantis. Pola attachment ini akan mengarahkan pilihan kita pada tipe orang seperti apa yang akan membuat kita jatuh cinta, bagaimana kita berperilaku terhadapnya, hingga pertimbangan untuk mempertahankan hubungan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, pola attachment sangat mempengaruhi pembentukan hubungan dalam hidup kita.
Penting bagi diri kita untuk mengetahui apa sih pola attachment yang ada di dalam diri kita. Dengan mengetahui dan memahaminya, kita dapat mengelola hubungan antara diri dengan orang di sekitar kita secara lebih baik. Dilansir dari Psych Alive, ternyata ada empat pola attachment nih yang perlu kita ketahui, simak yuk!
1. Secure attachment
Orang yang mengalami masa kecil dengan pola secure attachment cenderung memiliki rasa percaya diri dan rasa aman dalam membentuk hubungan. Mereka juga memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sehingga mudah menjangkau dan terhubung dengan orang lain. Dalam sebuah hubungan, mereka dapat mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan mereka sekaligus kebutuhan pasangannya. Dalam hal ini, mereka mampu memberi dukungan ketika pasangannya tengah tertekan. Begitu pula ketika ia menghadapi masalah, ia juga akan merasa nyaman bersandar pada pasangannya.
Rasa aman ini diperoleh dari pengalaman keterikatannya yang aman pada masa kecil dengan pengasuh utama. Ia dapat merasakan pengasuh utamanya sebagai zona aman yang kokoh, sehingga ia berani menjelajah dan mengeksplorasi dunia. Ketika dewasa, ia pun dapat merasa aman dan terhubung dengan pasangannya, sambil membiarkan diri mereka dan pasangannya bergerak bebas sebagai individu yang mandiri dan setara mengembangkan diri masing-masing.
2. Anxious-preoccupied attachment
Seseorang yang mengalami pola anxious-preoccupied attachment ketika kecil dengan pengasuh utama, cenderung merasa lebih tidak aman dan tidak percaya pada hubungan yang dibangun. Akibatnya, mereka seringkali membutuhkan kepastian dari pasangannya untuk menegaskan bahwa ia dan hubungan yang tengah dijalani “baik-baik saja”. Tak jarang, kecemasan ini berujung pada tindakan mengendalikan pasangan untuk memenuhi kebutuhan atas kepastian tersebut.
Kondisi ini banyak diperoleh dari hubungan antara diri pada masa kecil dengan orang tua atau pengasuh utama yang ambivalen. Ada waktu di mana orang tua atau pengasuh utama hadir menyesuaikan diri dan memenuhi kebutuhan anak, dan terkadang tidak. Begitu pula dalam mengungkapkan perasaannya, terkadang orang tua memeluk anak tapi juga terkadang mengacuhkannya. Pola yang tidak konsisten ini kemudian mengajari anak untuk “bertingkah”, “bersuara keras”, atau “menuntut perhatian” agar kebutuhan mereka terpenuhi. Akan tetapi, upaya ini tidak selalu berhasil, hingga akhirnya ia tumbuh dengan menyimpan rasa tidak aman di dalam diri. Kecemasan ini pun berlanjut pada hubungannya bersama pasangan terkait ketakutan akan ditinggalkan dan ditolak.
Alih-alih merasakan cinta dan kepercayaan dari pasangan, ia menjadi orang yang seringkali merasa kebingungan, khawatir, dan lapar secara emosional. Mereka pun cenderung mengandalkan pasangan untuk memberinya rasa aman sesering mungkin. Tak jarang untuk memenuhi kebutuhan ini, mereka justru melakukan tindakan yang membuat pasangannya menjauh.
Baca juga: 13 Tanda Emotional Manipulator dan Cara Menghadapinya!
3. Dismissive-avoidant attachment
Orang dengan pola dismissive-avoidant attachment cenderung memprioritaskan kemandirian pada hubungan. Dalam hal ini, mereka cenderung melakukan segala sesuatu sendiri, menjaga diri, dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri secara sadar maupun tidak. Pada waktu tertentu, mereka juga menganggap bahwa kebutuhan pasangan atas hubungannya sebagai sesuatu yang kekanakan.
Pola ini diperoleh dari kurangnya pengalaman emosional masa kanak-kanak dengan orang tua atau pengasuh utamanya. Kesalahpahaman dan tidak adanya respon terhadap kebutuhan mereka ikut terlibat dalam pembentukan pola ini. Pada akhirnya, mereka belajar untuk tidak bergantung dan bertindak seolah-olah tidak memiliki kebutuhan untuk menghindari rasa sakit dan malu atas kurangnya respon terhadap kebutuhan mereka.
Ketika dewasa, orang dengan pola attachment ini cenderung menjaga jarak ketika berkaitan dengan “kenyamanan” secara emosional pada tingkat tertentu. Saat pasangannya mengungkapkan kebutuhannya, seringkali individu dengan tipe ini tidak dapat merespon karena tengah menekan kebutuhannya sendiri. Tak jarang, mereka akhirnya mengacuhkan hingga memutuskan hubungan karena melihat kebutuhan itu sebagai sesuatu yang merepotkan. Keputusasaan yang diungkapkan secara intensif oleh pasangan tampak menjadi penegasan bagi dirinya untuk semakin menutup dan melindungi diri dari orang lain.
4. Fearful avoidant attachment
Berbeda dengan pola sebelumnya, pola attachment yang satu ini hidup dalam keadaan ambivalen. Di mana, ia merasa takut terlalu dekat atau terlalu jauh dengan orang lain. Alhasil, mereka seringkali diliputi kecemasan, tertekan, hingga menarik diri ketika didekati. Pola ini diperoleh dari pengalaman yang ambivalen dan tidak menentu semasa kecil. Dalam hal ini, orang tua menunjukkan tindakan tidak menentu dan membingungkan, sehingga membuat anak tidak memiliki strategi yang terorganisir untuk memenuhi kebutuhannya.
Anak-anak kemudian terbebani oleh reaksi dari orang tua mereka dan sering mengalami ledakan emosi. Pola ini pun terus berkembang ketika ia beranjak dewasa. Terlihat dari suasana hati yang campur aduk dan tidak terprediksi. Mereka melihat dalam sebuah hubungan, mereka harus aktif mendekati pasangan dan memenuhi kebutuhan mereka, tetapi bila terlalu dekat, mereka yakin orang terkait akan menyakiti mereka. Dengan kata lain, mereka memandang orang yang bisa memberi keamanan dan kenyamanan bagi mereka ialah orang yang sama dengan yang mereka takuti. Meski begitu, mereka tetap tidak memiliki strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka oleh orang lain.
Baca juga: Ini Tanda Kamu Memiliki Trust Issues dan Cara Mengatasinya
Individu dengan pola attachment ini cenderung hidup tidak tenang. Mereka seringkali berada dalam hubungan yang dramatis dengan banyak pasang surut. Mereka takut ditinggalkan dan berjuang untuk bersikap intim. Namun, di saat bersamaan, mereka takut terjebak bila terlalu dekat. Seringkali orang dengan tipe attachment ini terjebak dalam toxic hingga abusive relationship.
Dari empat pola attachment ini, apakah kamu sudah menemukan pola mana yang kamu miliki, Ladies? Well, yang manapun itu, kabar baiknya, pola itu tidak permanen, loh! Kamu bisa mengubahnya sesuai kebutuhanmu. Hal yang paling penting, kamu sudah menyadari tipe attachment mana dirimu dan orang yang kamu tuju. Dari situ, kamu dapat mengetahui bagaimana cara mengelola hubungan yang nyaman dan aman bersama dengan orang yang kamu maksud. Dengan memahami pola ini, kamu juga bisa menciptakan hubungan yang sehat, awet, dan sesuai dengan keinginan bersama.
Sumber: PsychAlive