Kecanggihan teknologi informasi memang hadir untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Banyak hal yang mempermudah pelaku bisnis dalam melakukan pekerjaannya, salah satunya dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Namun, kecanggihan ini tak jarang jadi boomerang bagi para pelaku bisnis di banyak bidang, salah satunya bagi dunia kesehatan. Salah satu hal yang perlu dibahas adalah teknologi AI yang kemudian memungkinkan munculnya deepfake, ancaman terbaru untuk praktisi Public Relation (PR) dan media relation.
Hal ini yang juga menjadi concern bagi Eugenia Siahaan, Direktur Eugenia Communications.
Ia terus menyuarakan pentingnya peran public relation (PR) dalam sebuah perusahaan, organisasi, rumah sakit, atau pun unit bisnis lainnya. “Teknologi dan perkembangannya adalah hal yang mungkin tidak bisa kita kendalikan. Dampak positif dan dampak negatif, keduanya akan terus berputar dan pada akhirnya hanya tergantung pada seberapa bijak seseorang menggunakan teknologi. Sayangnya, kita juga tidak bisa mengontrol seseorang untuk bisa selalu bijak. Di sinilah peran PR bekerja untuk perusahaan, di mana ada strategi komunikasi yang dibutuhkan untuk melawan info-info simpang siur yang muncul akibat deepfake yang semakin menjamur,” jelas Eugenia.
Ladies mungkin juga sudah cukup familiar dengan teknologi deepfake. Menurut Oxford Dictionary, deepfake sendiri merupakan video seseorang yang wajah atau tubuhnya telah diubah secara digital sehingga tampak seperti orang lain, dan biasanya digunakan untuk tujuan menyebarkan informasi palsu. Saat ini, banyak sekali tokoh terkenal yang wajah dan suaranya digunakan untuk menyebarkan edukasi yang sifatnya tidak terverifikasi. Mulai dari politikus, selebritas, hingga dokter-dokter juga kerap menjadi korban deepfake. Bahkan, saat ini nggak perlu menjadi seorang ahli IT untuk memproduksi video seperti itu. Cukup dengan sambungan internet dan aplikasi pendukung, siapapun bisa memproduksi video serupa.
Sejak didirikan pada 1999, Eugenia Communications tentu mengamati perkembangan dan tantangan bagi bidang public relation.
“Selama 24 tahun berkarya, setiap tahunnya tantangan PR semakin meningkat. Kali ini cukup meresahkan karena teknologi kian canggih dan mampu mengelabuhi masyarakat. Hal ini membuat kami berpikir, apakah kelak deepfake akan benar-benar digunakan untuk saling menyerang dalam bisnis, bahkan dunia kesehatan? Apakah mungkin klien-klien kami akan diserang hal-hal seperti ini? Sebagai praktisi PR, kita tidak boleh tutup mata. Kita harus semakin gigih dan tidak kalah canggih,” tutur Eugenia.
Ini yang membuat peran PR tidak akan pernah luput dari segala krisis bagi perusahaan, farmasi, rumah sakit, hingga dokter-dokter secara pribadi. Karena nyatanya, dibandingkan dengan akun-akun media sosial resmi yang mampu memberikan informasi kredibel, jumlah akun “bodong” pun tak kalah banyaknya karena mudahnya membuat akun. Sehingga, informasi terkait kesehatan, penyakit, terapi, hingga promosi pelayanan kesehatan bisa didapat dengan mudah.
Masyarakat yang menelurusuri info secara online tak jarang salah kaprah dan memilih terapi yang kurang tepat, karena kurangnya fungsi gate-keeper.
Maka, situasi seperti ini tentu membutuhkan PR yang gigih memberantasnya. Apalagi untuk melawan deepfake, seorang PR harus semakin cerdik untuk bisa ambil peran sebagai edukator terkait mana yang benar dan mana yang salah, serta dalam melakukan media monitoring.
Eugenia, yang merupakan lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia pada 1992 ini kembali menambahkan betapa pentingnya peran PR di tengah mudahnya menyebarkan informasi via media sosial lewat deepfake ini. “Sebagai PR, kita harus tetap bersinergi dengan media sosial. Kita tidak boleh tutup mata karena ada banyak sekali masyarakat yang mengonsumsi medsos sehari-harinya. Maka, para praktisi PR juga bisa menggunakan medsos sebagai tools mereka dalam menjalankan strategi komunikasi. Ikut aktif memberikan informasi-informasi yang benar, seperti yang kami coba lakukan pada akun Instagram dan TikTok kami. Selain itu, PR harus juga meningkatkan kemampuan media monitoring untuk bisa menemukan video deepfake seperti itu.” Ia kembali menambahkan, yang juga perlu diperkuat adalah media relation. Karena apapun yang terjadi, informasi yang paling benar tentu bisa kita dapatkan lewat media massa yang terverifikasi, karena mereka melalui proses penyuntingan yang baik sebelum diberitakan.
Tantangan-tantangan baru yang bermunculan ini justru membuat Eugenia semakin bersemangat mengembangkan Eugenia Communications.
Agensi PR yang berfokus pada dunia kesehatan, kini juga merambah ke dunia event organizer (EO). Serta, tetap mengedukasi relevansi PR bagi dunia kesehatan meskipun di tengah maraknya penggunaan media sosial yang terlihat seperti jalan pintas.
“Perlu kita ingat, video deepfake ini dapat menyebabkan kerusakan reputasi secara langsung jika tidak langsung diperbaiki. Seperti rekan saya, seorang dokter yang wajahnya digunakan untuk promosi obat herbal, tentu hal ini akan menurunkan reputasi beliau sebagai dokter yang memiliki jam terbang tinggi dan memiliki idealisme. Ini jadi sebuah krisis, dan seorang PR harus bisa jadi garda terdepan. Sebagai PR, paling tidak kita harus awas dan mengikuti perkembangan deepfake. Harus lebih gigih melawan hoaks yang semakin canggih,” himbaunya.
Untuk bisa memperbaiki reputasi dan mengatasi krisis, apalagi di dunia kesehatan, tentu harus ada PR yang juga berfokus pada bidang ini. “Dibutuhkan konsultan PR yang mampu mengerti dan menjembatani bahasa ilmiah agar bisa sampai kepada masyarakat dengan lebih mudah. Ini tentu perlu spesialisasi, pengalaman, dan jam terbang yang tinggi. Harus semakin canggih mengawinkan bahasa ilmiah dengan strategi komunikasi, termasuk di medsos. Apalagi, keberadaan generative AI yang dipakai pada deepfake, tentu hal ini berkontribusi besar pada kekacauan informasi. Maka PR harus bisa hadir memberikan insight yang holistik dan bisa dipercaya. PR harus lebih jeli melihat hoaks yang semakin canggih di tengah masyarakat. Kegigihan para praktisi PR akan mampu menguntungkan bagi semua stakeholder seperti investor, pemegang saham, mitra bisnis, media massa, dll,” tutupnya.