Kehadiran sosial media membuat arus informasi bergerak sangat cepat. Saking cepatnya, kita harus memilih dengan cermat semua informasi yang tersedia bebas. Kondisi pandemi juga sedikit banyak membuat masyarakat semakin gencar mengutilisasi internet, termasuk media sosial. Perusahaan-perusahaan, termasuk di dalamnya perusahaan farmasi sehingga rumah sakit pun mengembangkan media sosial untuk membangun engagement di tengah masyarakat. Namun, hal ini tidak membuat peran public relation (PR) hilang begitu saja tanpa jejak.
Di tengah banyaknya unit bisnis yang lebih fokus pada media sosial, Eugenia Siahaan, Direktur Eugenia Communications, terus menyuarakan pentingnya public relation dalam sebuah perusahaan, organisasi, rumah sakit, maupun unit bisnis lainnya. Wanita kelahiran Jakarta, 28 September 1968 ini mengatakan, “Pekerjaan PR lebih dari sekadar membangun engagement dengan masyarakat. Pada dasarnya, media sosial memang ampuh jika ingin membangun relasi dengan publik dan jika tujuan utamanya ada pada promosi atau penjualan karena memungkinkan two-way communications dengan publik. Hal ini bisa dikatakan sebagai tujuan jangka pendek. Namun, tujuan jangka panjangnya lebih penting diperhatikan, yaitu menyangkut reputasi dan kepercayaan masyarakat, serta cara memitigasi krisis yang bahkan bisa timbul dari media sosial.”
Di ranah internet, jumlah akun ‘bodong’ yang beredar tidak dapat dibendung. Akun-akun tersebut seringkali menyebarkan penyebaran informasi yang kurang tepat. Sayangnya, akun-akun media sosial resmi yang dapat memberikan informasi kredibel kalah dalam hal jumlahnya. Dalam hal kesehatan, masyarakat yang menelusuri info secara online sering salah kaprah dan memilih terapi atau perawatan yang kurang tepat. Dalam kondisi tersebut, peran PR atau agensi PR khususnya di bidang kesehatan diperlukan.
Media sosial menjadi salah satu tools untuk menyusun strategi komunikasi. Akan tetapi, public relation dan media sosial harus dapat bersinergi karena media sosial saja tidak cukup untuk membangun reputasi yang begitu kompleks.
“Misalnya dalam dunia kesehatan, jika hanya berfokus mengunggah konten dan kemudian menimbulkan hoax di masyarakat terkait informasi kesehatan, maka harus ada strategi yang tepat dari praktisi PR ataupun agensi PR yang ditunjuk,” tambahnya.
Hal ini menjadi dasar bagi Eugenia untuk mengembangkan Eugenia Communications, agensi PR yang berfokus pada dunia kesehatan sejak 1999.
Eugenia juga tetap mengedukasi relevansi PR bagi dunia kesehatan walaupun media sosial terlihat seperti jalan pintas yang lebih praktis. Dalam dunia kesehatan, konsultan PR juga menjembatani penggunaan bahasa ilmiah agar dapat sampai ke masyarakat dengan lebih mudah. “PR masih memegang peranan yang penting, karena mereka mampu memberikan insight yang lebih holistik. Selain memikirkan engagement di tengah masyarakat, PR akan mampu membangun strategi komunikasi yang juga menguntungkan bagi semua stakeholder seperti investor, pemegang saham, mitra bisnis, media massa, dan lain-lain,” jelas Eugenia.
Lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia tahun 1992 ini pun menambahkan pentingnya peran PR di tengah hingar-bingar media sosial. “Salah satu strategi yang kurang mampu dilaksanakan jika kita hanya berfokus pada media sosial adalah media relation. Jurnalis memegang peran penting dalam pergerakan arus informasi, termasuk informasi kesehatan. Informasi dari jurnalis merupakan informasi yang kredibel, karena mereka hanya menulis berita berdasarkan pernyataan dan data yang akurat. Hal ini membuat berita-berita yang ditulisnya lebih bisa dipercaya oleh masyarakat, dibanding jika kita hanya memperkenalkan sendiri ‘citra’ kita kepada lewat media sosial. Dalam situasi krisis pun, jika kita memiliki relasi media yang baik, akan lebih mudah terselesaikan,” tuturnya.
Namun, ia juga menambahkan catatan penting bahwa seorang praktisi PR harus tetap mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti media sosial.
Sebagai contoh, informasi mengenai kesehatan yang diterbitkan melalui siaran pers atau output PR lainnya dapat dipercaya dalam waktu yang lebih lama dan dapat disebarkan lebih cepat jika praktisi PR mampu memanfaatkan media sosial.
“Media sosial memungkinkan PR menjangkau audiens yang jauh lebih besar dan dapat dimanfaatkan untuk membuat PR lebih dekat lagi dalam membangun hubungan dengan stakeholders. Dapat disimpulkan, media sosial tidak akan mampu menggantikan pekerjaan PR secara keseluruhan. Namun di sisi lain, seorang praktisi PR harus mampu memanfaatkan media sosial untuk memperbesar dampak dari strategi yang mereka buat. Lalu pertanyaannya, apakah PR masih relevan di tengah media sosial? Jawabannya ya, sangat relevan,” tutupnya.