Deteksi dini AMD atau Age-related macular degeneration dinilai para ahli penting untuk segera dilakukan. Pasalnya, pasien degenerasi makula terkait usia ini memerlukan penanganan yang cepat, tepat, dan teratur untuk mengatasinya. Jika tidak segera dilakukan, maka penyakit ini akan berujung parah. Misalnya, bagi penderita AMD basah, dapat terjadi komplikasi hingga kebutaan.
“AMD merupakan salah satu penyakit mata yang perlu mendapatkan pengobatan sedini mungkin. Oleh sebab itu, dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia 2021, seluruh masyarakat diingatkan akan pentingnya kesehatan mata. Ini akan berdampak pada pendidikan, pekerjaan, kualitas hidup, hingga kemiskinan,” jelas Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Pusat, dr. M. Sidik, Sp.M (K), dalam Virtual Media Briefing sekaligus Journalistic Award, pada Kamis (14/10) lalu.
Berdasarkan hal tersebut, PERDAMI mengajak sejumlah stakeholders, pemerintah, institusi, serta individu untuk secara aktif mendukung akses kesehatan mata yang universal.
“Perlu dipastikan bahwa semua orang mendapatkan akses layanan mata tanpa pengecualian, termasuk populasi lansia,” tegasnya. Hal ini dilakukan agar deteksi dini memungkinkan untuk dilakukan.
AMD sendiri merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemui, khususnya pada populasi lanjut usia (lansia) di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah menjadi salah satu negara dari lima negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak. Hal ini perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan pada populasi lanjut usia di negara berkembang.
Ditambah lagi jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2040 diprediksi akan terus meningkat hingga sekitar 20%. Selanjutnya, pada tahun 2050, jumlah lansia diprediksi akan mencapai 74 juta atau sekitar 25% dari total penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah lansia, semakin besar pula risiko meningkatnya AMD di Indonesia.
Gangguan penglihatan hingga kebutaan akibat AMD pada lansia ini dinilai sangat menurunkan kualitas hidupnya. Di mana, lansia perlu tetap aktif dan berkontribusi dalam masyarakat ketika menjalani hidupnya. Untuk itu, pengobatan yang cepat dan tepat perlu dilakukan, khususnya selama pandemi melanda.
“Gangguan terjadi secara perlahan dan progresif, sehingga memerlukan pemantauan ketat, serta kontrol dokter dan pengobatan berkala. Walaupun situasi pandemi COVID-19 memang menyulitkan, kami menghimbau agar pasien AMD khususnya, tetap memiliki semangat dan tidak takut untuk ke rumah sakit guna mendapatkan pengobatan sehingga kondisi penglihatan tidak memburuk,” tuturnya.
Senada dengan Sidik, Dokter Spesialis Mata Konsultan RSCM-FKUI, Dr. dr. Gitalisa Andayani, Sp.M(K), menegaskan, tanpa penanganan secara dini dan berkelanjutan, penyakit ini akan terus memburuk dari waktu ke waktu.
“AMD merupakan wujud dari kerusakan makula, yaitu pusat fokus penglihatan pada retina mata. Terjadi perubahan anatomi makula yang menyebabkan gangguan fungsi penglihatan, mulai dari distorsi bentuk atau penglihatan buram, hingga buta pada penglihatan sentral. Akibatnya, pasien tidak dapat membaca, menulis, bahkan melihat wajah orang di hadapannya,” jelas Gitalisa.
Adapun penyakit ini terbagi menjadi dua jenis, yakni AMD kering dan AMD basah. Pada AMD kering, terjadi kerusakan makula secara bertahap, biasanya terjadi selama bertahun-tahun karena sel-sel retina mati dan tidak diregenerasi. Sekitar 10% – 15% orang dengan AMD kering, kondisinya akan berkembang menjadi AMD basah. Sementara itu, pada AMD basah, terjadi pertumbuhan pembuluh darah abnormal ke dalam makula, sehingga terjadi pendarahan atau akumulasi cairan di makula. Akibatnya, akan timbul jaringan parut pada makula yang menyebabkan pasien kehilangan penglihatan sentralnya (kebutaan).
“AMD basah sering berkembang dengan sangat cepat dan dapat menyebabkan kehilangan daya lihat yang sangat signifikan,” ungkapnya. Ini membuat AMD basah perlu dideteksi secara dini dan mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, jenis yang satu ini juga menjadi penyebab utama kehilangan penglihatan permanen yang parah pada individu di atas usia 60 tahun.
Faktor risiko utama dari kemunculan AMD, ditegaskan Gitalisa merupakan usia, khususnya individu dengan usia di atas 60 tahun. Namun, ada beberapa faktor lain yang dapat memicu AMD, yakni faktor genetik dan merokok. Bagi individu yang memiliki faktor risiko tersebut, Gitalisa menyarankan untuk waspada, deteksi dini, dan menanganinya dengan tepat. Dengan begitu, komplikasi hingga kebutaan dapat dihindari. Begitu pula mencegah individu terganggu kesehatan mentalnya, seperti mengalami depresi dan isolasi sosial akibat menderita penyakit ini.
Dari segi pengobatan, Gitalisa mengaku belum ada pengobatan yang efektif untuk merawat AMD kering yang tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total. Sementara itu, untuk pengobatan AMD basah bisa dilakukan dengan terapi Aflibercept. Terapi ini dapat menghambat faktor pertumbuhan endotel anti-vaskular (vascular endothelial growth factor [VEGF]). Pada praktiknya, terapi ini dilakukan dengan cara disuntikan ke dalam bola mata (intravitreal). Terapi ini dapat memperlambat pertumbuhan pembuluh darah abnormal dan mencegah kerusakan makula lebih lanjut, sehingga mencegah kebutaan.
Berdasarkan studi ALTAIR tahun 2020, terapi Aflibercept intravitreal dapat memperpanjang jarak interval pengobatan dalam rejimen treat and entend (T&E).
Dalam hal ini, dengan penyesuaian 2 minggu atau 4 minggu. Hasil terapi menunjukkan perbaikan penglihatan dan anatomi makula pada pasien yang sebelumnya belum pernah menggunakan pengobatan selama 52 minggu, sekaligus mengurangi jumlah kunjungan dan beban biaya pengobatan. Biasanya perawatan AMD basah perlu dilakukan setiap 2 bulan sekali menjadi 3 atau 4 bulan sekali.
Terapi ini juga efektif digunakan pada satu sub-tipe AMD basah, yakni Polypoidal Choroidal Vasculopathy (PCV). AMD ini paling sering ditemukan pada individu dengan ras Asia, dengan 25%-50% pasien Asia memilikinya, sehingga disebut “Asian AMD”. “Intinya, saat ini layanan terhadap pasien AMD basah di Indonesia telah dilakukan dengan baik. Tetapi, deteksi dini tetap perlu dilakukan, misalnya dengan melakukan pemeriksaan mata minimal sekali dalam setahun. Terutama ketika mulai menginjak usia 40 tahun,” tegasnya.
Mendukung gerakan deteksi dini dan pengobatan berkelanjutan AMD, Sidik menyatakan, PERDAMI hingga telah melakukan beberapa program. Di antaranya, menyelenggarakan berbagai forum update pengetahuan dan pelatihan secara berkelanjutan pada dokter spesialis mata. Pihaknya juga menjalin kemitraan dengan Bayer Indonesia untuk menjalani riset yang berfokus pada AMD.
Hal ini diamini Head of Medical Pharmaceuticals PT Bayer Indonesia, Dewi Muliatin Santoso, yang menyatakan, jalinan kemitraan tersebut didasarkan pada kesamaan visi kedua pihak. “Bayer sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh PERDAMI ini. Sejalan dengan visi Bayer: Health for All, Hunger for None, kami berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien dan keluarganya. Dalam hal ini, melalui penelitian dan pengembangan inovasi pengobatan untuk penyakit, termasuk penyakit AMD basah,” akunya.
Melalui kemitraan ini, Dewi meyakini, keduanya dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien serta keluarga dalam menangani penyakit AMD. Penyakit yang berdampak pada segala aspek kehidupan, mulai dari kualitas hidup hingga beban ekonomi masyarakat.
Sumber: PERDAMI