Pakaian adat merupakan salah satu identitas wajib di setiap daerah. Di mana dari Sabang sampai Merauke, kamu bisa mengetahui apa saja makna filosofi serta ciri khas dari kostum tersebut. Begitu pula dengan Ulee Balang (pakaian khas Aceh) yang memadukan antara budaya Melayu dan Islam.
Awalnya, Ulee Balang hanya digunakan oleh keluarga Kesultanan gajah tetapi, seiring berkembangnya zaman dan untuk melestarikan kebudayaan tersebut akhirnya baju tradisional ini dapat digunakan oleh seluruh masyarakat, termasuk dijadikan sebagai kostum utama ketika acara pernikahan.
Pakaian ini sendiri, terdiri dari dua macam yaitu linto baro atau untuk laki-laki dan Daro Baro biasa digunakan untuk perempuan. Keduanya mempunyai filosofi tersendiri apa saja itu? Mari kita semua pembahasannya di bawah ini
Pakaian adat Aceh Linto Baro
Dalam Linto Baro terdapat beberapa elemen yang harus digunakan mulai dari Baju meukeusah, bentuknya seperti beskap yang digunakan oleh laki-laki sebagai atasan. Menurut sejarah, pakaian tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak.
Bahan pembuatannya dari kain tenun yang berbahan sutra atau kapas hitam. Menurut masyarakat Aceh, warna hitam merupakan kebesaran seorang sehingga selalu digunakan oleh seorang lelaki yang akan membina rumah tangga.
Di beberapa bagian, terdapat sulaman benang warna emas, mulai dari leher, dada, dan ujung lengan. Sulaman tersebut biasanya bermotif bunga serta sulur daun, sebagai contoh Kembang Tanjung tumpal atau buah delima, beberapa juga menggunakan motif hewan hanya saja jarang sekali digunakan.
Hampir semua motif tersebut mempunyai makna tersendiri, misalkan menggunakan pucok reubong yang melambangkan kesuburan serta kebersamaan. Dengan kata lain, setiap orang yang memakainya diharapkan akan diberikan rezeki yang melimpah serta keturunan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Pakaian adat Aceh ini juga terpengaruh oleh budaya Cina. Di mana kamu bisa melihat bentuk kerahnya yang menyerupai cheongsam. Terinspirasi dari para saudagar Cina yang melintas di kawasan Aceh waktu itu.
1. Celana Sileuweu
Berikutnya adalah celana yang merupakan bawahan berwarna hitam dan berbahan katun. Bentuknya melebar ke bawah serta dihiasi dengan sulaman emas disebut juga sebagai cekak musang.
Selain celana, para laki-laki juga akan menggunakan sarung dengan kain berbahan songket. Hal ini menunjukkan bagaimana kewibawaan seorang pria pemakaiannya sendiri dengan cara melilitkan ke bagian pinggang yang panjangnya mencapai atas lutut atau sekitar 10 cm. Nama lain dari kain sarung ini disebut juga Ija Lamugap atau Ija Sangkat.
2. Meukeutop dan Senjata
Dalam pakaian adat Aceh seorang laki-laki wajib mengenakan meukeutop atau penutup kepala. Di mana bahannya terbuat dari kain tenun yang disulam berwarna hijau, kuning, hitam, merah yang melambangkan kedamaian, kesultanan, ketegasan, kesabaran, dan keberanian seorang pahlawan.
Dengan memakai penutup kepala ini diharapkan seorang laki-laki mampu memegang teguh ajaran Islam. Hanya saja, tetap memiliki ketegasan dalam bersikap serta cinta damai pada bagian atas dihias dengan tempoek yang terbuat dari emas atau perak. Beberapa juga menghiasnya dengan permata kecil, sehingga terlihat mengkilap.
Elemen selanjutnya adalah senjata khas Aceh yaitu rencong dalam mengenakan pakaian adat Aceh. Setiap laki-laki wajib menyelipkannya di lipatan sarung yang melilit di bagian pinggang dan diatur sedemikian rupa hingga keluar serta menciptakan rasa nyaman.
Rencong sendiri merupakan simbol dari identitas diri dan ketangguhan serta keberanian seorang laki-laki dalam membina rumah tangganya. Hanya saja, bentuknya satu orang dengan yang lain tidak sama, tergantung dari strata sosialnya.
Selain Rencong, senjata yang juga digunakan untuk melengkapi pakaian adat ini adalah Siwah. Dari bentuk memang hampir mirip, hanya saja lebih panjang dan besar selain itu, terlihat mewah karena pada gagangnya dihiasi dengan berbagai macam permata yang berkilau.
Di beberapa acara besar Siwah ini wajib digunakan karena menunjukkan kebesaran atau strata sosial masyarakat. Harus diakui pedang tersebut satu tingkat di atas rencong, hal itu dapat dilihat dari ukiran motif hingga bahan pembuatnya.
Pakaian adat tradisional Aceh Linto Baro menggambarkan bagaimana para lelaki yang akan berumah tangga sudah siap mengemban tugasnya sebagai Imam. Harapannya adalah mereka mampu membimbing anak dan istirnya menuju jalan yang disyariatkan oleh Islam.