Selama ini, kebiasaan beser dan mengompol pada lansia dan laki-laki seringkali dianggap sebagai hal yang normal. Faktanya, ini justru menunjukkan adanya gangguan kesehatan pada diri seseorang yang dapat menurunkan kualitas hidup, gangguan seksual, hingga depresi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia memiliki gangguan tersebut.
Hasil itu diperoleh dari penelitian yang dilakukan PERKINA pada 585 responden yang terdiri dari 267 pria dan 318 perempuan. Dari penelitian tersebut, sebesar 11,6% atau sekitar 68 responden memiliki gangguan berkemih. Adapun, dari hasil penelitian Departemen Urologi RSCM-FKUI pada tahun 2014, diketahui bahwa sekitar 10,8% laki-laki dewasa dan 25% laki-laki lanjut usia di atas 60 tahun mengalami gangguan beser dan mengompol. Dalam Virtual Media Education pada Kamis (19/8), tiga orang ahli menyampaikan penjeasan menyeluruh mengenai hal ini.
Menurut Prof. dr. Siti Setiati dari Divisi Geriati Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, ada perbedaan antara beser dan mengompol yang perlu diketahui. Beser atau overative bladder (OAB) merupakan sebuah gangguan fungsi berkemih yang mengakibatkan rasa ingin segera berkemih. Beser dapat juga dikelompokkan sebagai salah satu jenis inkontinensia. Sementara, mengompol atau enuresis atau inkontinensia adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat menahan keluarnya air kencing atau keluarnya urin tanpa dikehendaki.
Senada dengan Siti, Ketua Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA), Harrina Erlianti Rahardjo, mengatakan, mengompol atau enuresis merupakan kondisi yang tidak hanya terjadi pada anak-anak, namun juga bisa terjadi pada pria dewasa dan usia tua.
Menurut Siti, proses penuaan akan berdampak pada pengaturan sistem berkemih. “Pada kondisi normal, sistem saraf parasimpatis akan melakukan stimulasi kontraksi otot-otot di kandung kemih (otot detrusor) dengan reseptor muskarinik dan 𝝰-1. Sementara sistem saraf simpatis menghambat kontraksi dengan adanya reseptor 𝛽-2. Efek penuaan akan berdampak pada peningkatan aktivitas otot detrusor, penurunan sensasi ingin berkemih, serta penurunan kekuatan otot sfingter di saluran kemih. Peningkatan aktivitas otot detrusor dapat disebabkan oleh keadaan hiperrefleks seperti riwayat stroke, Parkinson, demensia serta instabilitas akibat proses penuaan, obstruksi, batu kandung kemih, atau pembesaran prostat,” jelasnya.
Inkontinensia urin yang banyak dialami oleh masyarakat Indonesia ini merupakan salah satu bentuk Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). LUTS sendiri merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan gangguan pada saluran kemih bagian bawah. Ada tiga tipe LUTS, yakni penyimpanan, pengosongan, dan post-micturition. Kebanyakan orang Indonesia mengalami tipe penyimpanan. Berdasarkan studi yang dilakukannya, ahli dari Departemen Medik Urologi FKUI-RSCM, Nur Rasyid, menyatakan, penyebab LUTS paling umum dialami para pria ialah obstruksi prostat jinak atau dikenal dengan sebutan Benign Prostate Hyperplasia (BPH), overactive bladder/detrusor overativity, dan polyuria nocturnal.
“Penyebab lainnya yang perlu dipertimbangkan antara lain, batu ureter distal, tumor kandung kemih, striktur uretra, infeksi saluran kemih, benda asing, disfungsi neurogenic kandung kemih, chronic pelvic pain syndrome (CPPS)/ prostatitis kronik, dan underactive bladder/detrusor underavtivity,” jelasnya. Selain itu, ada beberapa penyebab inkontinensia yang menurut Siti dapat kembali dan perlu diwaspadai, seperti delirium, infection, atrophic vaginitis, pharmaceuticals, psychological problems, endocrine disorder, excess urine output, reduced mobility, dan stool impaction.
Kabar baiknya, ketika inkontinensia terjadi, ada beberapa penyebab yang masih bisa ditangani tanpa langsung bergantung pada obat-obatan atau disebut dengan tatalaksana non farmakologis.
Tatalaksana non farmakologis ini perlu dilakukan pasien secara rutin. Diantaranya, membatasi asupan minum, tidak minum <2 jam sebelum tidur, mengurangi konsumsi kafein alkohol, minuman bersoda, serta minuman manis. Pasien pun perlu berhenti merokok, menjaga berat badan sesuai indeks massa tubuh ideal, menggunakan pampers, bladder retaining, dan latihan otot dasar panggul. Bila perlu, lakukan pijat uretra untuk mengurangi rasa tidak tuntas pasca buang air kecil.
Sementara, tatalaksana farmakologi biasanya dilakukan ketika gejala yang dialami cukup mengganggu. Untuk gangguan berkemih dengan gejala pengosongan yang diakibatkan oleh obstruksi, diatasi dengan BPH dan obat-obatan yang diberikan seputar α1-blocker, 5-α reductase inhibitor (5-ARIs), dan phosphodiesterase 5-inhibitors (PDE5-I). Untuk gangguan berkemih dengan gejala penyimpanan akibat masalah non-obstruksi, yakni OAB dapat diberikan anti muskarinik dan beta-3 agonis. Bila kondisinya cukup parah, pembedahan dapat dilakukan bila diperlukan.
Tak berhenti sampai di sini, pihak PERKINA mengaku, akan terus melakukan penelitian lebih lanjut terkait pengobatan gangguan berkemih. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelayanan pengobatan terbaik sekaligus mengedukasi masyarakat terkait penting mewaspadai dan menjaga kesehatan berkemih.